KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui beleid Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut berencana kembali membuka keran ekspor pasir laut. Rencana pembukaan ekspor tersebut dilakukan pasca 20 tahun sebelumnya telah dilarang. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menduga, ada konflik kepentingan di balik belum turunnya aturan lanjutan dari PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut tersebut. Terlebih aturan tersebut menuai banyak kontra utamanya dari kelompok nelayan. Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyebut, pemerintah seharusnya mencabut aturan mengenai pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang pada akhirnya memberikan ruang bagi adanya ekspor pasir laut.
"Ini dikeluarkan menjelang pemilihan presiden waktu yang terlalu dekat. Jadi memang sarat kepentingan, kemudian kajiannya belum ada tapi sudah keluar kebijakannya," jelas Susan dihubungi Kontan.co.id, Kamis (4/1).
Baca Juga: Bakal Rugikan Nelayan, KNTI Tolak Aturan Ekspor Pasir Laut Menurutnya, jika pemerintah memang ingin mengatasi adanya ekspor pasir laut ilegal, seharusnya meningkatkan penegakan hukum. Bukan malah melegalkan aktivitas yang sebelumnya dilarang dengan dalih dapat menambah pendapatan negara. Susan mengatakan tidak ada keterkaitan antara pengelolaan sedimentasi namun pada akhirnya dapat dilakukan ekspor dari hasil sedimentasi tersebut. Ia juga mengkritisi klaim yang menyebut pengelolaan bakal tetap memperhatikan lingkungan. Susan menjelaskan, secara logika jika pasir di dalam laut diambil pasti akan ada dampak ekologi. Kemudian hal tersebut akan berdampak pada ekosistem dan pada akhirnya nelayan terkena imbasnya dan desa di pesisir akan tenggelam. Saat ini saja, sebelum aturan tersebut berjalan banyak wilayah pesisir di Indonesia yang mengalami banjir rob. Dengan pengambilan pasir tentu akan berdampak domino pada wilayah lainnya. "Material seperti itu tidak bisa digantikan oleh apapun. Karena ketika pasir lautnya diambil pasti tanahnya berubah, ekosistemnya berubah dan pasti yang terdampak adalah manusia yang tinggal di situ. Contohnya di Demak di Dukuh Timbulsloko yang mulai tenggelam di tahun 2007, ketika ada pembangunan penimbunan pasir yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Mas," jelasnya. Pemerintah juga dinilai tidak melibatkan masyarakat pesisir dalam penyusunan kebijakan. Maka Susan menegaskan bahwa, aturan yang saat ini sudah seharusnya dicabut. "Kami curiga sedimentasi satu hal tapi pada titik beratnya adalah ekspor pasir. Siapa yang bisa menjamin dari kebijakan ini tidak ada konsesi atau izin tambang yang keluar untuk penambangan pasir di pesisir? jadi layer luarnya ya sebatas sedimentasi tapi substansinya adalah tambang pasir," ujar Susan. Umi Ma'rufah, Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan WALHI membenarkan, jika ekspor pasir laut kembali dibuka maka potensi dampak pada kerusakan lingkungan dan kerugian nelayan pasti akan terjadi. Kemudian ditambah dengan makin besarnya ombak akan memperparah abrasi di pesisir pulau, khususnya pulau-pulau kecil. "Jika memang tujuan adanya PP 26/2023 adalah untuk pendalaman alur pelayaran dan pembersihan maka tidak relevan jika kemudian menjadi dalih diizinkannya tambang pasir laut untuk tujuan bisnis dan berlangsung selama puluhan tahun," kata Umi.
Baca Juga: Tunggu Aturan Turunan Rampung, KKP Tegaskan Ekspor Pasir Laut Belum Berjalan Dibukanya ekspor pasir laut juga mengkhawatirkan. Pasalnya, kebutuhan pasir laut kualitas terbaik seperti silika yang banyak terdapat di Riau dan Kepulauan Riau dapat dijadikan target pengerukan dengan dalih pembersihan sedimentasi. Padahal kenyataannya hanya untuk diekspor dan memberikan keuntungan bagi segelintir pebisnis. "Sejak dikeluarkan, WALHI beserta beberapa jaringan masyarakat nelayan menolak PP ini dan mendesak Presiden untuk mencabutnya," tegas Umi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat