KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan investasi dari China ke Indonesia mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada 2013 investasi China di Indonesia kurang lebih baru US$ 280 juta. Kemudian saat ini naik menjadi US$ 8,6 miliar. Dengan teknologi di China yang maju, menjadikan investasi dari negeri tirai bambu di Indonesia penting. Hal tersebut sesuai dengan upaya Indonesia yang tengah mendorong hilirisasi sumber daya alam dan ekonomi hijau. Analisi Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita menyebut, pemerintah sedari awal ingin menangkap peluang investasi asing dari program Belt and Road Initiative China (BRI), baik proyek infrastruktur fisiknya maupun infrastruktur digitalnya. Di mana rata-rata proyek BRI adalah infrastruktur. Hal tersebut dinilai Ronny menjadi penyebab Presiden Jokowi jorjoran mengejar investasi asing ke China.
"Saya bahkan menganggap ambisi infrastruktur Jokowi lahir dari upaya menangkap peluang BRI tersebut, yang dijadikan oleh Jokowi sebagai sumber pertumbuhan baru, meskipun gagal mengangkat angka pertumbuhan ke level 7%," jelas Ronny kepada Kontan.co.id, Selasa (17/10).
Baca Juga: Perkuat Bisnis, Perikanan Indonesia Gandeng Tiga Perusahaan China Upaya pemerintah mendorong China untuk meningkatkan investasinya di Indonesia Ronny mengatakan karena sifat investasi China yang bebas intervensi. Hal tersebut berbeda dengan investasi dari negara-negara maju barat dan anggota G7 yang banyak syaratnya, seperti harus menghormati HAM, melakukan penyesuaian struktural, liberalisasi, privatisasi, dan demokratisasi politik, investasi dari China bebas dari intervensi semacam itu alias jauh lebih mudah. "China tidak akan peduli jika di sini ada pelanggaran HAM atau penggusuran misalnya, investasinya akan tetap jalan. Selama China bisa mendapatkan komitmen dari pemerintah, maka China akan bersedia berinvestasi," imbuhnya. Namun demikian, Ronny menegaskan ada hal yang harus diingat oleh pemerintah. Pertama, adanya potensi jebakan utang dari China, yang biasanya tidak bisa dinegosiasikan oleh China. "Adanya potensi jebakan utang dari China, yang biasanya tidak bisa dinegosiasikan oleh China," tegas Ronny. Kedua, Ronny menuturkan adanya potensi kehancuran
supply chain domestik, karena biasanya investasi China akan mengarahkan kita untuk mengimpor barang modal dari China juga untuk proyek-proyek yang mereka biayai. "Otomatis, investasi China tidak akan akan terlalu mengungkit perekonomian nasional, karena
multiplier effect-nya justru kembali ke China. Biasanya baja, besi, semen, dan barang modal lainya akan diimpor dari China. Bahkan seperti kereta cepat, keretanya bulat-bulat diimpor dari sana," ujarnya. Ketiga, banyak sedikit, investasi China juga menghendaki dipakainya tenaga kerja China dalam jumlah tertentu. Jika ini tidak dikendalikan dan disepakati dengan China, investasi China berpeluang melahirkan antipati dari publik. "Jadi jika pemerintah memang mau belajar dari proyek-proyek investasi China terdahulu, ketiga hal ini harus dibicarakan secara komprehensif, agar tak ada
jebakan batman soal utang, agar tidak menggerogoti
supply chain domestik, dan tidak menimbulkan kecemburuan dari angkatan kerja lokal yang berlimpah," ungkapnya. Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan berbagai aspek dalam mendorong investasi China ke Indonesia. Pertama, Bhima menyebut perlu adanya uji kelayakan atas proyek atau investasi yang akan masuk. Hal tersebut agar tak mengulang lagi seperti kasus proyek kereta cepat yang justru malah membebani APBN. "Jangan mengulang lagi kasus kereta cepat. Realisasi proyek melenceng jauh dari rencana awal termasuk jadi beban APBN. Maka perlu uji kelayakan secara hati-hati. Jangan hanya cepat tapi juga proyek atau investasinya bisa berkualitas," kata Bhima. Kedua, pemerintah Indonesia harus menyelaraskan investasi yang ditawarkan dengan komitmen China. Di mana China diketahui sedang mendorong
green development atau pembangunan ekonomi hijau yang berkelanjutan. Sehingga, Bhima menyebut proyek-proyek investasi China terutama di bawah kerangka Belt and Road Initiative harus memiliki dampak sosial dan lingkungan yang positif. Maka pemerintah kata Bhima harus melakukan seleksi mana saja proyek-proyek yang bisa dikerjakan dengan China dan mana yang tidak.
Baca Juga: Jokowi: China Merupakan Mitra Dagang Terbesar Indonesia "Dan tentunya proses tender proses, pengadaan tenaga kerja, proses alih teknologi itu semuanya harus disiapkan dengan matang," imbuh Bhima.
Selain itu, proyek-proyek yang dikomitmenkan dengan China juga harus memperhatikan serapan TKDN. Sehingga investasi yang masuk juga bisa menekan impor dan meningkatkan dampak berganda kepada manufaktur lokal. Masuknya investasi dari China juga diharapkan dapat mendukung proses hilirisasi secara penuh di Indonesia. "Kemudian hilirisasi harusnya bisa dilakukan secara penuh. Jadi bukan hanya produk setengah jadi tapi investasi. Misalnya di hilirisasi nikel itu harus bisa menghasilkan produk akhir yaitu baterai kendaraan listrik, kendaraan listriknya misalnya. Dan bisa berorientasi pada ekspor," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .