KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar dalam menyusun strategi pembiayaan utang di tengah risiko pengetatan likuiditas domestik. Pasalnya, selama ini utang pemerintah banyak bergantung pada sumber pembiayaan domestik melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam denomisasi rupiah. Berdasarkan data terbaru, posisi utang pemerintah naik menjadi Rp 8.560,35 triliun per akhir Oktober 2024. Ini meningkat 1,02% dibandingkan posisi utang pada akhir September 2024 yang sebesar Rp 8.473,90 triliun.
Baca Juga: OECD Proyeksikan Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,2% Pada Tahun 2025 Adapun utang pemerintah ini didominasi instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang kontribusinya sebesar 88,21%. Hingga akhir Oktober 2024, penerbitan SBN tercatat sebesar Rp 7.750,70 triliun. Hanya saja, kondisi perekonomian pada tahun depan diperkirakan tumbuh landai, yang dapat mempengaruhi likuiditas pasar domestik. Di sisi lain, potensi perubahan dana alias crowding out juga mengemuka, terutama karena Bank Indonesia (BI) diproyeksikan tetap menerbitkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Instrumen ini menawarkan imbal hasil lebih tinggi dibandingkan SBN, sehingga dapat menarik aliran dana dalam negeri yang seharusnya dialokasikan untuk pembelian SBN. Jika kondisi ini tidak diantisipasi dengan baik, pemerintah berpotensi menghadapi kesulitan dalam memenuhi target pembiayaan melalui pasar domestik.
Baca Juga: Pemerintah Kucurkan Anggaran Makan Bergizi Gratis Rp 51,53 Triliun di 2025 Oleh karena itu, diperlukan strategi baru yang lebih adaptif, baik dengan memanfaatkan pasar internasional maupun diversifikasi instrumen pembiayaan untuk mengurangi ketergantungan pada sumber domestik. Head of Macroeconomic and Financial Market Research PT Bank Permata Tbk. Faisal Rachman menilai pengetatan likuiditas domestik akibat penerbitan SRBI mulai mereda seiring langkah BI yang akan mengurangi frekuensi lelangnya. "Namun memang kita tidak bisa pungkiri, belum bisa dihilangkan sepenuhnya guna menjaga stabilitas Rupiah di tengah ketidakpastian jangka pendek yang meningkat," ujar Faisal kepada Kontan.co.id, Selasa (2/12). Menurutnya, pemerintah dapat meningkatkan likuiditas domestik dengan mempercepat distribusi belanja negara melalui strategi front loading di semester I-2025.
Baca Juga: Neraca Pembayaran Indonesia Kuartal III-2024 Surplus, Ini Penopangnya Langkah ini akan memberikan multiplier effect yang lebih besar terhadap kegiatan ekonomi, mempercepat penciptaan uang, dan menjaga likuiditas di pasar domestik. Faisal juga menyoroti data simpanan pemerintah di BI yang saat ini masih berada di atas rata-rata serta ada kecenderungan pemerintah melakukan belanja besar di akhir tahun. Oleh karena itu, hasil penerbitan SBN sebaiknya segera dialokasikan ke sektor riil, sehingga likuiditas kembali cepat ke masyarakat. "Jika menunggu di akhir tahun baru belanja melonjak maka akan berdampak pada likuiditas," katanya. Dalam hal pembiayaan utang, Faisal menyarankan pemerintah memanfaatkan peluang di pasar global, khususnya ke negara-negara dengan suku bunga yang mulai menurun, seperti kawasan Eropa. Sebaliknya, eksposur ke negara seperti AS yang masih mempertahankan suku bunga tinggi perlu dikurangi.
Baca Juga: Pemerintah Kucurkan Anggaran Makan Bergizi Gratis Rp 51,53 Triliun di 2025 Sementara itu, Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menyampaikan optimisme terhadap strategi penerbitan obligasi pemerintah Indonesia pada tahun depan. Menurutnya, fokus utama pemerintah tetap pada segmen domestik, meskipun ada penerbitan obligasi dari Bank Indonesia (BI) terkait SRBI. Myrdal juga mengungkapkan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun depan menunjukkan tanda-tanda yang positif. Hal ini menandakan bahwa kondisi domestik masih kondusif bagi penerbitan obligasi pemerintah. "Jadi walaupun ada penerbitan dari BI terkait dengan SRBI, kelihatannya untuk segmen domestik masih kuat kondisi likuiditasnya," kata Mrydal.
Selain itu, Myrdal menyebutkan bahwa pemerintah akan terus meningkatkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor lebih dari satu tahun.
Baca Juga: Pemerintah Merilis Sukuk Global US$ 2,75 Miliar, Segini Kuponnya Menurutnya, hal ini memberikan keunggulan dibandingkan dengan SRBI, yang lebih mengandalkan tenor pendek dengan jangka waktu maksimal 12 bulan. "Jadi itu menjadi keunggulan tersendiri dari SBN dibandingkan dengan SRBI," imbuhnya.
Editor: Noverius Laoli