Pemerintah harus agresif bantu UMKM yang terdampak Covid-19



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi virus corona yang berlangsung hampir tiga bulan nyaris membuat perekonomian nasional lumpuh. Sektor UMKM, yang didominasi masyarakat kelas menengah ke bawah, bahkan kehilangan pendapatan. Seperti yang dialami Heryanto, seorang pengrajin tikar lipat asal Babakan, Ciseeng, Bogor, mengaku usahanya terpaksa tutup selama empat bulan masa pandemi Covid-19.

"Pandemi ini bagi kami sangat berpengaruh, dan pendapatan kami terhenti. Sekitar empat bulan usaha terhenti, kami tidak berproduksi," ungkap Heryanto, yang merupakan pelaku UMKM Binaan Jamkrindo, dalam diskusi virtual bertajuk 'Pemulihan Ekonomi Nasional Sektor UMKM', Jumat (10/7).

Dampaknya, beberapa warga sekitar dari kalangan ibu-ibu yang diberdayakan Heryanto turut kehilangan sumber pendapatan utama dari usaha menjahit tikar lipat itu. Menanggapi persoalan yang dialami Heryanto serta para pelaku UMKM lainnya, Anggota Komisi VI DPR RI Marwan Ja’far mengatakan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi harus mendapatkan dukungan dari banyak stakeholder.


Legislator dari Fraksi PKB ini pun mendorong pemerintah agar memberikan perhatian lebih kepada pelaku UMKM di Tanah Air agar naik kelas, termasuk dukungan anggaran permodalan. Sebab selama ini, anggaran UMKM tidak pernah naik. "Bicara soal Kementerian Koperasi dan UKM, ini anggaran UMKM tidak pernah naik. Malah turun. Jadi terkesan tidak ada upaya untuk memperjuangkannya," kritik Marwan.

Untuk mengatasi masalah UMKM, Marwan mengatakan pihaknya akan mendukung penuh apapun yang dilakukan pemerintah demi stabilitas ekonomi di Tanah Air. "Apapun yang diminta pemerintah, akan kita setujui untuk kepentingan pemulihan ekonomi nasional dan terutama sektor UMKM. DPR siap back-up penuh anggaran, serta regulasi yang dibutuhkan pemerintah untuk mengatasi dampak ekonomi ini," tegasnya.

Kritik yang sama dilontarkan Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, bahwa jumlah UMKM yang naik kelas sangat minim. Ia mengatakan jumlah UMKM yang mampu mengakses permodalan jumlahnya tidak mencapai 20%. "UMKM kita ini tidak naik kelas. Terus untuk apa ada Kemenkop jika faktanya tidak ada UMKM yang naik kelas? Berdasarkan data grafik kita itu isinya mikro dan ultra mikro. Statistiknya dari tahun ke tahun juga tidak ada peningkatan," kata Enny dalam kesempatan yang sama.

Sebagai perbaikan bersama, Enny pun mendorong harus ada redefinisi UMKM agar kedepannya mampu lebih bersaing dengan kompetitor dari luar negeri. Selama ini, kata Enny, banyak UMKM tidak mampu memanfaatkan skema pembiayaan, hingga stimulus dari pemerintah. Ia juga menambahkan, ada bias antara usaha kecil dengan industi kecil mikro, perindustrian tidak diurus, UKM juga tidak diurus.

Sementara itu, Asisten Deputi Permodalan Kementerian Koperasi dan UKM Fixy mengakui Pemerintah mengalami dilema selama masa pandemi hingga memasuki new normal. Berbagai kebijakan pun diubah menyesuaikan kondisi pasca pandemi, termasuk anggaran penanganan Covid-19. "Pemerintah mana yang rela ekonomi warganya terpuruk? Sehingga pemerintah pun harus memilih mana yang harus diprioritaskan, apakah menyelesaikan penanganan Covid-19 terutama sektor kesehatan ataukah menyelamatkan sektor ekonomi," kata Fixy.

Fixy menambahkan, Kementerian Koperasi dan UKM pun mengalokasikan anggarannya untuk turut serta memulihkan perekonomian nasional termasuk menstimulus industri ekonomi yang terdampak corona. "Kita sejak awal tidak memiliki anggaran untuk alokasi penanganan corona. Akan tetapi, ada beberapa penyesuaian termasuk mengubah anggaran ini secara total, dan dialokasikan untuk mengatasi dampak corona, industri perekonomian yang terdampak corona," pungkas Fixy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan