Pemerintah Inggris angkat bicara soal Brexit



JAKARTA. Menjelang pelaksanaan referendum Inggris, spekulasi di pasar global kian tinggi. Hasil polling pun tidak ada yang seirama, yang pada akhirnya menimbulkan gejolak di pasar finansial.

Hasil polling terbaru yang dihelat YouGov untuk pembaca harian Times menunjukkan, dari 1.652 pemilih sekitar 44% memilih untuk meninggalkan Uni Eropa. Sementara, 42% lainnya memutuskan untuk bertahan.

Hasil ini berbeda dengan polling yang dilakukan oleh ORB untuk pembaca Daily Telegraph, yang mana 53% setuju untuk bertahan dan hanya 46% yang ingin angkat kaki. Sedangkan dari survei yang dilakukan oleh The National Center of Social Research sepanjang 16 Mei – 12 Juni 2016 lalu oleh 1.632 voters, 53% memutuskan bertahan dan 47% hengkang.


“Ada alasan kenapa pasar bergejolak seperti sekarang. Karena jika nantinya Brexit benar terjadi, posisi poundsterling bisa melemah 15% - 20%. Jadi penting bagi masyarakat untuk mengetahui dampak dari Brexit bagi Inggris sebelum memutuskan untuk memberikan suara,” tutur George Soros, investor miliarder seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (21/6).

Perdana Menteri Inggris, David Cameron dan para pejabatnya sedang fokus meneliti setiap risiko yang mungkin menghantam ekonomi Inggris jika Brexit benar terjadi.

“Kenapa orang menahan diri untuk beli rumah atau mobil saat ini di Inggris kalau memang tidak khawatir dengan konsekuensinya? Brexit mungkin tidak jadi masalah bagi mereka yang kaya, tapi bagi sebagian besar masyarakat di negara ini, mereka harus hidup dengan konsekuensi ekonomi terguncang. Itu sama dengan tidak ada rumah untuk pulang,” kata Menteri Keuangan Inggris, George Osborne.

Efeknya memang sudah terlihat, poundsterling menukik 2,4% pada awal pekan kemarin di hadapan USD. Ini merupakan kejatuhan terdalamnya sejak 2008 silam. Osborne pun memastikan bahwa pemerintah tidak memiliki persiapan jika Brexit terjadi kecuali bersiap dengan keadaan untuk menghadapi ketidakstabilan ekonomi jika benar harus meninggalkan Eropa.

“Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk lepas sepenuhnya dari Uni Eropa dan tentunya tahun-tahun tersebut akan menjadi masa-masa ekonomi yang sulit untuk dilalui,” tambah Osborne.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie