Pemerintah kaji SVLK untuk produk furnitur impor



JAKARTA. Kementerian Perindustrian akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk mengkaji pemberlakuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) produk furnitur impor. Hal itu bertujuan untuk melindungi pasar furnitur Indonesia dari serbuan produk impor, terutama furnitur yang berasal dari Tiongkok.

“Saat ini untuk ekspor sudah diberlakukan SVLK, nah yang impor juga harus diberlakukan. Ini untuk azas keadilan saja,” ujar Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, usai persiapan gelaran Internasional Furniture dan Craft Fair Indonesia (IFFINA) 2015, di kantor Kementerian Perindustrian, Rabu (1/10/2014).

Panggah mengatakan, saat ini banyak produk furnitur dan kerajinan Indonesia yang dicontek oleh Tiongkok. Panggah curiga, Tiongkok mampu menguasai pasar furnitur global dengan porsi 31 persen pada 2011, karena trik negeri tirai bambu tersebut dalam mengakali produk asal Indonesia. "Kemungkinan mereka (Tiongkok) melakukan finishing saja dari produk Indonesia," katanya.


Kendati demikian, Indonesia juga dituntut memperbaiki prestasi untuk merebut pangsa pasar furnitur global yang hingga saat ini masih dikuasai oleh Tiongkok.

Pemerintah menargetkan dalam lima tahun ke depan nilai ekspor furnitur kayu dan rotan mencapai US$ 5 miliar. Pada tahun lalu, nilai ekpornya furniture kayu mencapai US$ 1,56 miliar dan rotan olahan mencapai US$ 245 juta.

Dia optimis target tersebut bisa dicapai dengan didukung potensi bahan baku yang dimiliki dalam negeri baik rotan maupun kayu. Apalagi, banyak kebijakan pemerintah yang mendorong perkembangan industri ini, salah satunya adalah SVLK untuk menjaga bahan baku kayu tidak ekspor sembarangan.

“Industri merupakan salah satu industri yang memiliki nilai tambah dan memberikan kontribusi PDB ( Produk Domestik Bruto) dan devisa bagi perekonomian nasional,” ujarnya. Ketua Komda DPD Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) Jatim, Laurentsius Liem mengatakan, Indonesi baru menyumbang 1 persen pasar global.

Menurutnya, secara global besaran industri global mencapai US$ 440 miliar pada tahun lalu.

Menurut dia, Indonesia masih tertinggal dari Brasil, Vietnam dan Polandia yang masing-masing menyumbang 2%. Apalagi, dibandingkan dengan Tiongkok yang menyumbang 31% produksi mebel dunia.

Kenapa bisa begitu, dia mengatakan, saat ini banyak kayu-kayu Indonesia yang diekspor tanpa asal-usul yang jelas. Menurut dia, dengan adanya kebijakan SVLK ekspor-ekspor bahan baku tersebut sudah mulai berkurang. Sehingga negara-negara yang tadinya sumber bahan bakunya berasal dari Indonesia mengalami penurunan produksi. “Produksi Tiongkok bagus finishing, sedangkan kualitas bahan bakunya jelek. Beda dengan produk lokal,” katanya.

Dia berharap, dalam lima tahun ke depan Indonesia bisa menghasilkan lebih dari 2% produksi mebel dunia dengan nilai US$ 8-10 miliar per tahunnya. “Dalam 10 tahun ke depan Indonesia ditargetkan, bisa memasok 5% pangsa pasar mebel dunia,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, pihaknya akan mencanangkan roadmap revitalisasi industri permebelan Indonesia pada saat pembukaan pameraan IFFINA 2015. Saat ini, ASMINDO sedang menyelesaikan finalisasi roadmap tersebut.

“Nanti akan jelas siapa berbuat apa dan bagaimana, serta target dan sasaran apa yang akan dicapai pada 2019,” tuturnya. (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa