Pemerintah lamban, rating bisa terpangkas



JAKARTA. Pemerintah Indonesia lamban mengambil kebijakan ekonomi yang mendesak sehingga momentum perubahan pun mentok. Ini menjadi alasan Standard & Poor's memangkas proyeksi (outlook) peringkat utang Indonesia dari BB+ dengan proyeksi positif menjadi BB+ dengan proyeksi stabil. Alhasil, Indonesia butuh setidaknya setahun lagi untuk mencapai kenaikan rating.S&P melihat, Indonesia lamban meningkatkan kapasitas infrastruktur. Ketidakpastian hukum kian merajalela, juga ketidakpastian regulasi serta hambatan birokrasi. Ini bisa mengurangi potensi pertumbuhan Indonesia.Dalam rilis di situs resminya Kamis (2/5), S&P mengatakan, revisi itu mencerminkan penilaian bahwa momentum reformasi dan profil risiko eksternal Indonesia masih lemah. Kondisi ini mengurangi potensi Indonesia mengalami kenaikan peringkat dalam 12 bulan ke depan.S&P melihat tidak ada upaya menjaga fiskal yang berkelanjutan. Selain itu mereka juga melihat Indonesia perlu melakukan perbaikan neraca pembayaran dan mengurangi beban utang luar negeri. "Ini bisa membuka peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat," jelas seperti dikutip dalam rilisnya Kamis (2/5).Analis S&P Agost Benard menyatakan, S&P sejatinya bisa meningkatkan peringkat Indonesia jika reformasi kebijakan BBM subsidi berjalan, anggaran pemerintah membaik, atau jika reformasi struktural dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, jika perbaikan fiskal Indonesia atau risiko eksternal tidak bisa diatasi dengan kebijakan yang sesuai dan tepat pada waktunya, peringkat Indonesia benar-benar bisa turun. Nah, kontras dengan penurunan proyeksi rating Indonesia, negeri tetangga Filipina justru memperoleh kenaikan rating. S&P mengerek peringkat utang jangka panjang Filipina, dari BBB- menjadi BB+. Artinya, kini Filipina sudah mengantongi predikat investment grade. Menurut S&P, rating Filipina naik karena profil risiko eksternalnya menguat, inflasi yang lebih moderat, dan ketergantungan terhadap utang luar negeri menurun. Di mata S&P, Presiden Benigno Aquino juga telah berhasil memperbaiki anggaran pemerintah dan mendorong Filipina menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di kawasan.

Melakukan perbaikanMenanggapi ini, Pelaksana tugas (Plt) Menteri Keuangan Hatta Rajasa menyatakan sebenarnya peringkat Indonesia masih belum turun, yaitu tetap BB+. Hanya saja, Hatta menyadari penurunan proyeksi dari positif menjadi stabil merupakan sinyal bahwa banyak yang harus diperbaiki oleh Indonesia. "Terutama dari sisi fiskal dalam konteks subsidi BBM," katanya.Ia menambahkan, S&P akan melihat bagaimana kebijakan BBM bersubsidi yang akan diambil Pemerintah Indonesia kelak. Ia menegaskan pemerintah akan segera menyikapi kebijakan soal BBM, termasuk menyiapkan perlindungan sosial untuk masyarakat miskin.Pemerintah juga akan menitikberatkan belanja untuk infrastruktur dan perlindungan sosial serta membuat kebijakan subsidi BBM yang lebih adil dan tepat sasaran.Sementara pasar keuangan merespon negatif peringkat dari S&P ini. Kemarin nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar Amerika Serikat. Transaksi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang dicatat Bloomberg hingga Kamis (2/5) malam menunjukkan pelemahan 0,15% ke posisi Rp 9.738. Sementara indeks harga saham gabungan juga melorot 1,32% menuju level 4.994,05 poin.Saat ini pemerintah juga tengah berupaya untuk memperbaiki struktur pendanaan maupun belanja di APBN 2013. Pemerintah akan merevisi target penerimaan pajak yang dalam tiga tahun terakhir terus di bawah target akibat melemahnya kegiatan usaha akibat krisis. Sementara di sisi belanja pemerintah akan memangkas belanja subsidi BBM, tapi mengalihkan untuk dibagi-bagikan secara tunai kepada masyarakat, bukan untuk infrastruktur.Pasar terimbasPenurunan proyeksi peringkat utang Indonesia ini diprediksi berimbas pada pasar obligasi Indonesia. Efeknya yang paling dekat akan terasa pada lelang surat utang negara (SUN) dengan target indikatif Rp 8 triliun pada 6 Mei 2013. Para analis memprediksikan investor akan meminta yield tinggi dalam lelang tersebut.Analis NC Securities, I Made Adi Saputra, penurunan outlook akan memicu investor meminta yield tinggi. Rilis penurunan outlook tersebut mengakibatkan pasar obligasi sekunder tertekan dan yield mengalami kenaikan.Dia menebak, investor akan memilih seri SPN bertenor pendek dalam lelang kali ini. Sebab, tenor pendek hanya mengalami koreksi terbatas apabila dibandingkan dengan instrumen tenor panjang.Selain masalah rating, antisipasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan mendorong investor meminta yield yang tinggi ketimbang harga pasar. Maklum, investor juga memperhitungkan dampaknya pada inflasi nanti."Pengumuman mengenai kebijakan harga BBM baru memang dilakukan setelah pembahasan perubahan APBN dan paling cepat akhir Mei ini. Namun untuk lelang 6 Mei sudah terlihat pengaruhnya," kata Desmon Silitonga, analis PT Millenium Danatama, Kamis (2/5).Kendati demikian, dia menduga, permintaan investor dalam lelang nanti masih cukup tinggi. Dengan demikian, target indikatif yang dipatok pemerintah akan tercapai.Sementara di pasar obligasi, kenaikan yield sudah terjadi. Sepekan ini, yield SUN acuan bertenor 10 tahun naik 10 basis poin ke level tertinggi dalam tiga pekan, yakni ke 5,58%. Untuk hari ini, yield SUN yang jatuh tempo Mei 2023 itu naik dua basis poin.

Demikian pula dengan bursa saham. Setelah pengumuman S&P itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok 1,32% ke 4.994,05. Pada pukul 11.00 WIB hari ini (3/5) pun, IHSG masih melanjutkan penurunannya sebesar 0,62% ke 4.962,93.

Profil Obligasi Global Indonesia
Tahun Terbit SERI Nilai (US$ Juta) Jatuh Tempo
2004 INDO-14 1.000 2014
2005 INDO-15 1.000 2015
  INDO-16 900 2016
  INDO-35 600 2035
2006 INDO-17 1.000 2017
2007 INDO-35 1.000 2035
  INDO-37 1.500 2037
2008 INDO-18 1.000 2018
  INDO-38 1.000 2038
  INDO-18 1.000 2018
  INDO-38 1.000 2038
  INDO-18 1.000 2018
  INDO-38 1.000 2038
  INDO-14 300 2014
  INDO-18 900 2018
  INDO-38 1.000 2038
2009 INDO SNI-14 650 2014
  INDO-14 GMTN 1.000 2014
  INDO-19 GMTN 2.000 2019
  INDO-RIJPY0719 370 2019
2010 INDO-RI0320-GMTN 2.000 2020
  INDO-RIJPY1120 713 2020
2011 INDO-21-GMTN 2.500 2021
  INDO-SNI-0018 1.000 2018
2012 INDO-RI0142 1.750 2042
  INDO-RI0422 2.000 2022
  INDO-RI0422 500 2042
  INDO-SNI-0022 1.000 2022
TOTAL 26.683  
Sumber :Kementrian Keuangan, Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: