KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dikabarkan tengah mempertimbangkan kenaikan harga BBM dalam upaya menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Head of Fixed Income Avrist Asset Management Zaki Aulia mengatakan pemerintah harus berhati-hati dalam memutuskan untuk menaikan harga BBM atau tidak. "Sebaiknya sebelum menaikkan harga BBM, lebih dulu dilakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi agar subsidi BBM tepat sasaran, khusus bagi kalangan masyarakat yang membutuhkan," ujar Zaki kepada Kontan.co.id, Senin (15/8).
Apabila beban subsidi sudah sangat memberatkan APBN, sebaiknya kenaikan harga BBM dilakukan secara terbatas dan tidak dilepas mengikuti harga minyak di pasar.
Baca Juga: Jokowi Akan Bacakan RAPBN 2023, Defisit Anggaran Harus di Bawah 3% PDB Direktur Utama Trimegah Asset Management Antony Dirga mengatakan kenaikan harga BBM adalah tantangan yang harus dihadapi bersama dan betapa berat tantangan yang dihadapi oleh dunia global di situasi saat ini. Tingkat inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga yang aggresif juga mengancam terjadinya resesi yang meluas. "Saya kira pertimbangan pemerintah untuk mempertahankan subsidi BBM demi menjaga momentum ekonomi yang baru saja bangkit dari pandemi Covid 19 dan juga meringankan beban kehidupan masyarakat yang sudah cukup terpukul oleh pandemi adalah tepat," ujar Antony. Menurut Zaki sejauh ini untuk menambal subsidi BBM yang besar, pemerintah mengandalkan penerimaan pajak yang meningkat dan pendapatan dari
windfall kenaikan harga komoditas. Namun di tengah tingginya harga minyak yang berkepanjangan seperti saat ini, beban APBN akan sangat berat, sehingga berpotensi mengurangi anggaran pemerintah untuk sektor lain. Hal ini dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Baca Juga: Harga Minyak Anjlok, WTI Bergerak di Bawah US$ 90 per Barel Antony mengatakan dibutuhkan keseimbangan yang pas jika mau melanjutkan subsidi BBM ini. Secara biaya untuk ekonomi tentunya sangat tinggi. Tapi sebagai negara berbasis komoditas sebenarnya memiliki
natural advantage dalam mengimbangi tekanan inflasi yang tinggi. "Kita dapat melakukan subsidi silang dengan menggunakan surplus di komoditas untuk menutup defisit di minyak bumi. Akan tetapi strategi ini tentunya harus dipertimbangkan dengan matang, mungkin bukan solusi yang baik untuk jangka panjang. Saya kira pemerintah kita sudah sangat
aware akan hal ini," ucap Antony. Zaki mengatakan dalam keranjang inflasi, BBM memiliki bobot 4% menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga misalnya harga BBM naik 10%, inflasi bisa terdorong hingga 0.4 poin terhadap persentase inflasi. "Jika harga BBM bersubsidi disesuaikan, maka laju inflasi meningkat cukup signifikan dan akan diikuti dengan kenaikan suku bunga Bank Indonesia yang juga signifikan," ujar Zaki.
Baca Juga: Aktivitas Masyarakat Melesat, Impor BBM dan Gas Membludak Antony mengatakan sebagai salah satu pelaku pasar modal adalah mungkin pada akhirnya kenaikan harga BBM harus dilakukan. Tentunya dengan sosialisasi dan diimbangi dengan bantuan langsung pada masyarakat yang membutuhkan. "
Adjustment BBM perlu dilakukan untuk memastikan bahwa posisi fiskal Indonesia secara fundamental tetap sehat dan kita tidak “menyembunyikan” tingkat inflasi kita yang sesungguhnya," tutur Antony.
Zaki mengatakan hal ini dikhawatirkan dapat memperlambat pemulihan ekonomi dan imbasnya berpotensi menurunkan investasi di Indonesia. Menurut Zakil apabila pemerintah menaikkan harga BBM, inflasi dikhawatirkan meningkat, dan bila diikuti dengan kenaikan tingkat suku bunga oleh BI, maka pasar obligasi berpotensi mengalami tekanan. "Kenaikan suku bunga acuan secara historis berbanding lurus dengan kenaikan imbal hasil obligasi," Jelas Zaki. Antony mengatakan neraca ekonomi yang sehat dan tingkat inflasi yang lebih transparan dapat mengamankan pendanaan yang dibutuhkan untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi kita dan menjadi landasan kuat yg kita butuhkan untuk menghadapi krisis resesi global yang diprediksi oleh Bank Dunia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati