Pemerintah menjanjikan insentif bagi kkks



JAKARTA. Pemerintah kembali melontarkan janji manis demi untuk menggenjot kegiatan eksplorasi di industri hulu minyak dan gas bumi (migas) di Tanah Air. Dalam waktu dekat, pemerintah akan menerbitkan peraturan baru yang akan mengatur pemberian insentif bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Jero Wacik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, sejauh ini pihaknya bersama Menteri Keuangan tengah melakukan finaliasi peraturan pelaksanaan yang akan menjadi payung hukum pemberian insentif.

"Kami akan beri kemudahan bagi mereka agar banyak yang mau berinvestasi, sehingga lima sampai sepuluh tahun ke depan sudah ada hasil produksinya," kata dia, usai membuka acara IndoGas 2013 di Jakarta Convention Centre, Senin (21/1).


Untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi, menurut Jero, ada dua hal yang menjadi perhatian pemerintah, yakni kemudahan dan cepatnya proses perizinan dan pemberian intensif bagi para kontraktor migas.

Jero bilang, sejauh ini Kementerian ESDM hanya mampu berupaya untuk memberikan kemudahan bagi pengusaha dengan melakukan percepatan proses perizinan. Tetapi, "Kan, ada masalah perpajakan yang merupakan kewenangan Kementerian Keuangan, dan bukan di kami," kata dia.

Menurut dia, pihaknya selama ini menerima keluhan pengusaha, seperti pajak yang tetap diberlakukan meskipun kontraktor baru tahap kegiatan eksplorasi. Jero mengatakan, idealnya penarikan beban baik berupa pajak bumi dan bangunan (PBB) maupun bea masuk baru diterapkan setelah kontraktor tersebut masuk dalam tahapan produksi.

Bagi hasil bisa berubah

Edi Hermantoro, Pelakasana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, mengatakan, pemberian insentif kepada kontraktor eksplorasi sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas.

Akan tetapi, lanjut Edi, peraturan tersebut belum bisa diterapkan pemerintah karena belum adanya aturan turunan berupa peraturan menteri yang berisi petunjuk pelaksanaan (juklak) bagi pegawai di lapangan.

"Kami sudah minta ke Kementerian Keuangan untuk buat juklak, misalnya di bea cukai ataupun bagi pejabat daerah. Sekarang pembahasannya sudah di level tertinggi. Kita tunggu saja," ujar Edi.

Dia menjelaskan, soal pembebasan pajak saat kegiatan eksplorasi, pihaknya juga akan memberikan insentif berupa kemudahan akses data mengenai profil wilayah kerja yang sedang digarap perusahaan. Dengan pasokan data yang akurat, menurutnya, hal itu tentunya akan memudahkan kontraktor untuk melakukan percepatan kegiatannya.

Selain itu, pemerintah juga akan mengalokasikan dana khusus untuk digunakan memperkaya data lapangan migas, misalnya untuk kegiatan survei dan data seismik. "Kita selalu dibilang kekurangan data, itulah yang harus kita dorong, bisa menggunakan anggaran pemerintah ataupun anggaran survei dari perusahaan," jelas dia.

Pemerintah juga akan memberikan porsi dalam kontrak bagi hasil atawa production sharing contract (PSC) yang bersifat fleksibel. Artinya, untuk produksi gas tidak melulu porsinya 70% untuk pemerintah dan 30% bagi kontraktor. Demikian juga dalam produksi minyak, tidak selalu 85% milik pemerintah dan sisanya untuk kontraktor.

Menurut Edi, fleksibilitas bagi hasil tersebut tentunya harus melalui kajian pemerintah. Misalnya dikaitkan dengan besaran nilai investasi yang akan dikeluarkan kontraktor. "Dasarnya keekonomian. Kami akan lihat rate of return dari rencana pengembangannya seperti apa. Kalau untuk gas biasanya 70:30, bisa juga akan diputuskan 35:65 untuk produksi di Indonesia timur, misalnya," kata dia.   

Boks

Rencana Pemerintah untuk memberikan insentif bagi kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi (migas) tidak terlalu dibutuhkan kontraktor migas. Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, sebenarnya yang dibutuhkan kontraktor migas adalah kepastian hukum atas kegiatan eksplorasi dan produksi mereka.

Selain itu, mayoritas kontraktor migas meminta adanya fleksibilitas skema bisnis migas sebagai jaminan atas investasi selama ini. "Apa yang baru dari insentif itu? Bukannya sudah lama diberlakukan dan tidak efektif," tegas Pri Agung.Dia mengatakan, selama ini skema bisnis pemerintah ke kontraktor migas atau goverment to business tidak menguntungkan para kontraktor migas.

"Sebab birokrasinya sangat panjang. Belum lagi tumpang tindih peraturan hingga pembebasan lahan yang dinilai menjadi penghambat bisnis hulu migas, " kata dia.

Untuk itu, Pri menyarankan, pemerintah harus mengubah skemanya menjadi business to business.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini