Pemerintah Minta Proyek Gasifikasi Batubara Tetap Digarap, Ini Alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui masih banyak tantangan yang dihadapi pelaku usaha dalam mengeksekusi proyek hilirisasi batubara khususnya gasifikasi. 

Namun dibalik besarnya tantangan yang ada, pemerintah meminta proyek gasifikasi batubara tetap digarap karena dibutuhkan dalam masa transisi energi. 

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif menjelaskan, saat ini hilirisasi batubara sudah mulai berjalan misalnya diolah menjadi briket dan semi kokas. 


Namun, khusus gasifikasi batubara belum berjalan dan seluruh proyek yang ada masih dalam tahap studi kelayakan atau feasibility study (FS). 

Baca Juga: Realisasi Investasi Energi Terbarukan Masih Seret

“Sejak mundurnya Air Products, gasifikasi batubara kita berhenti. Ada yang mengganti (produk hilirisasi) misalnya Kaltim Prima Coal ke ammonia, sedangkan Bukit Asam masih mencari pengganti partner,” ujarnya ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (29/12). 

Irwandy mengakui, gasifikasi batubara bukanlah proyek yang mudah. Bahkan katanya seluruh dunia juga merasakan hal yang sama. Dua tantangan utama proyek ini ialah finansial dan keekonomian. 

Di mana dalam aspek finansial, perusahaan cukup kesulitan mendapatkan pendanaan. Maklum, proyek batubara ini memerlukan investasi yang sangat besar dan sejumlah pihak menganggapnya sebagai proyek fosil. 

Adapun dalam aspek keekonomian berkaitan dengan keuntungan bisnis. Dalam proyek gasifikasi batubara menjadi dymethil ether (DME) yang digadang-gadang akan menggantikan LPG, masih terhambat sisi kepastian pasar. 

Baca Juga: Pelaku Usaha Sebut Hilirisasi Batubara Masih Perlu Dukungan Regulasi dan Insentif

Pemerintah sebelumnya telah mendorong agar hasil akhir DME  proyek gasifikasi batubara garapan Bukit Asam bersama Air Products dapat disalurkan oleh PT Pertamina. 

Namun, masalah lain menghadang yakni subsidi LPG mempengaruhi nilai keekonomian DME di pasar dalam negeri. 

“Soal subsidi LPG itu jadi masalah terus. Tentu harga DME selalu ingin lebih kurang dari LPG. Saat ini kan LPG subsidinya cukup besar,” imbuhnya. 

Adanya kelindan masalah dari hulu ke hilir ini membuat pemerintah belum memberikan tenggat waktu khusus bagi perusahaan tambang batubara pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam mengeksekusi proyek hilirisasinya. 

Walau demikian, pemerintah menegaskan terus mengikuti perkembangan rencana pelaksanaan hilirisasi batubara sesuai rencana yang dikemukakan pengusaha sebelumnya. 

“Kami mengikuti terus (perkembangan) sesuai rencana mereka. Harus ada semacam check point. Tentu ada suatu langkah  upaya yang harus dilakukan seandainya belum mendapatkan solusi,” tegasnya. 

Sejauh ini, lanjut Irwandy, Bukit Asam telah menjajaki pengganti Air Products, yaitu perusahaan dari China. Tanpa memerinci  nama perusahaannya, dia mengakui belum mengatahui secara pasti sejauh apa perkembangan pencarian partner saat ini. 

Yang terang Kementerian ESDM menginginkan agar Bukit Asam tetap mengusahakan proyek gasifikasi batubara dapat digarap. 

“Kalau Bukit Asam kan BUMN, artinya tidak seperti perusahaan IUPK (swasta). Jiwanya bagaimana kita dalam menuju net zero emission (NZE) melakukn semua upaya-upaya untuk mengurangi karbon dioksida termasuk hilirisasi batubara,” kata Irwandy. 

Untuk mendorong proyek tersebut, pemerintah telah menyiapkan sederet insentif fiskal maupun non-fiskal. Misalnya saja dari sisi Kementerian ESDM, memberikan perpanjangan izin tambang setiap 10 tahun hingga cadangan batubaranya habis bagi perusahaan yang berhasil melaksanakan proyek hilirisasi. 

Menurutnya, perpanjangan izin ini sangat penting karena dapat menjamin kelangsungan pasokan batubara jangka panjang untuk proses hilirisasi. 

Lantas jika pengusaha merasakan kebijakan saat ini belum cukup mendukung, Irwandy menyatakan, kebijakan lain dapat diupayakan sesuai dengan kebutuhan industri. 

“Kebijakan dapat diupayakan. Kalau nanti ada kekurangan bisa diusulkan. Misalnya industri memerlukan tambahan bantuan fiskal bisa ke departemen keuangan, terkait insentif non-fiskal bisa ke Kementerian ESDM dan kementerian lain,” jelasnya. 

Dari sisi pengusaha, Direktur Eksekutif Asosiasi Penambang Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengapresiasi sejumlah dukungan yang sudah diberikan pemerintah pada proyek hilirisasi batubara.

Dukungan itu berupa pengurangan tarif royalti batubara khusus untuk gasifikasi batubara hingga 0%, kemudian pengaturan harga batubara khusus untuk meningkatkan nilai tambah (gasifikasi) di mulut tambang, dan masa berlaku Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara khusus pada batubara untuk gasifikasi diberikan sesuai umur ekonomis industri gasifikasi. 

“Hanya saja dukungan tersebut belum cukup, harus banyak insentif dan peraturan terkait untuk hilirisasi batubara di Indonesia,” ujarnya dihubungi terpisah. 

Hendra memberikan gambaran sejumlah dukungan yang diperlukan pelaku usaha untuk menggarap hilirisasi batubara. Beberapa di antaranya, insentif pajak berupa tax holiday, keringanan bea impor bahan baku dan suku cadang, perizinan terkait lingkungan dipermudah, aturan harga jual produk hasil dari hilirisasi, hingga kepastian offtaker (pembeli). 

Tidak hanya itu, menurutnya kerja sama dengan offtaker ini juga harus diformulasikan secara khusus supaya memberikan keuntungan bagi pihak penambang maupun provider teknologi. Lainnya, APBI juga menyoroti kemudahan pendanaan dalam mengeksekusi proyek ini. Pasalnya saat ini proyek-proyek yang berhubungan dengan batubara sulit mengakses pendanaan ke perbankan. 

“Selain itu yang tidak kalah penting ialah konsistensi pelaksanaan regulasi, ini kuncinya. Keekonomiannya sulit dicapai karena pelaku usaha belum tahu konsistensinya, jadi pada memilih wait and see sembari memonitor aturan-aturan terkait,” ujarnya. 

Ketua Komite Tetap Minerba Kadin Indonesia, Arya Rizqi Darsono menyatakan proyek hilirisasi batubara di Indonesia masih mengalami banyak kendala, salah satunya tidak tercapainya keekonomian proyek akibat belum adanya kepastian offtaker atau pembeli produk akhir. 

“Kadin melihat kesiapan offtaker belum ada dalam hilirsasi batubara. Sebelumnya Pertamina diharapkan membeli produk Dymethil Ether (DME) dari proyek gasifikasi dengan Bukit Asam dan Air Products. Meski Pertamina menyatakan siap, ternyata belum ada offtake agreement antara ketiganya,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (28/11). 

Persoalan itu, lanjut Rizqi, membuat ketidakpastian bisnis menjadi tinggi. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab Air Products hengkang dari proyek gasifikasi batubara bersama Bukit Asam beberapa waktu lalu. 

Saat ini, sejumlah penambang batubara mulai menggeser produk hilirisasi batubaranya menjadi amonia dan methanol. Dinilai, produk ini lebih jelas serapan pasarnya. 

Dalam catatan Kementerian ESDM, amonia dengan kandungan hidrogen yang tinggi dapat berperan penting untuk mendukung program pengurangan karbon khususnya di pembangkit listrik.

Meski sudah ada gambaran penyerapnya, Rizqi tetap menegaskan, salah satu hal terpenitng dalam pelaksanaan hilirisasi batubara ialah industrialisasinya, yakni kesiapan pasar menyerap produk tersebut. 

“Secara umum kami mendukung dan mentaati amanat UU No 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Hanya saja diperlukan kesiapan pasar. Jangan sampai bicara hilirisasi atau industrialisasi, tapi tidak tahu siapa yang menyerap barangnya,” tegasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi