KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mematok target volume
Domestic Market Obligation (DMO) batubara sebesar 128 juta ton untuk tahun ini. Jumlah tersebut naik dari target tahun lalu yang sebanyak 121 juta ton. Tak hanya dari sisi volume, persentase DMO tahun ini pun mengalami peningkatan. Pada tahun lalu, DMO batubara dipatok 25% dari target produksi nasional yang tertera dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) sebesar 485 juta ton. Sedangkan pada tahun ini, persentase DMO mencapai 26,12% dari target produksi dalam RKAB 2019 yang ditetapkan sebesar 489,12 juta ton. Menurut Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM, Agung Pribadi kenaikan tersebut telah menyesuaikan dengan kebutuhan batubara dalam negeri yang bertambah.
Terutama, dengan adanya penambahan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru yang beroperasi di tahun ini. "kebutuhan kelistrikan dan industri dalam negeri tahun ini meningkat, (jumlah DMO) sesuai dengan itu," kata Agung saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (13/2). Peningkatan kebutuhan batubara ini sebelumnya sudah disebutkan oleh pihak PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso mengungkapkan, pada tahun ini setidaknya ada tiga PLTU baru yang akan beroperasi dengan kapasitas total sebesar 2.350 Megawatt (MW). Yang berasal dari PLTU Jawa 7 dan Jawa 8 masing-masing berkapasitas 1.000 MW dan PLTU Lontar dengan kapasitas 350 MW. Iwan mengatakan, ketiga PLTU itu ditargetkan siap beroperasi antara bulan September-Oktober. Ia bilang, setiap penambahan 1.000 MW, PLN membutuhkan tambahan 3,5-4 juta ton batubara dalam setahun. Alhasil, untuk tahun ini, PLN membutuhkan sekitar 96 juta ton batubara. Jumlah itu naik sebanyak 5% dari realisasi serapan tahun lalu yang sebesar 91,1 juta ton. Namun, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, pemerintah idealnya menetapkan target yang konservatif dari realisasi DMO tahun lalu. Alasannya, Hendra menilai bahwa meskipun kebutuhan batubara dalam negeri meningkat, namun itu tidak cukup signifikan. "Seharusnya pemerintah dalam menetapkan DMO targetnya jangan dipatok tinggi-tinggi hanya berdasarkan rencana user. Karena kenyataanya pada 2018 realisasinya di bawah target, jadi patokannya mendekati realisasi 2018," kata Hendra. Hendra menilai, dalam prakteknya penetapan DMO yang tinggi ini berpotensi kembali menyulitkan pengusaha untuk memenuhi target tersebut. Sebab, antara target dan realita serapan batubara pada acapkali berbeda. "Jadi kan bisa bingung mau lepas berapa, mau sesuai target tapi dalam pelaksanannya seperti itu serapannya (tidak sesuai target)," tambah Hendra. Akan tetapi, menurut Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo, target DMO yang dipatok pemerintah sudah ideal. Singgih menilai, penetapan target akan lebih baik jika berada di batas atas dari proyeksi kebutuhan. Margin antara target dan proyeksi itu untuk mengantisipasi jika proyeksi kebutuhan batubara melebihi ekspektasi. Sebab, kebutuhan batubara ditentukan oleh permintaan listrik dan pertumbuhan industri, yang keduanya bergantung pada kebutuhan ekonomi. Jika target ditentukan terlalu rendah, lanjut Singgih, produsen batubara bisa saja memilih untuk membuat kontrak ekspor ketimbang disalurkan ke pasar dalam negeri. "Terus nanti kalau misalkan permintaan melebihi ekspektasi, DMO-nya kurang, itu bisa menyusahkan," jelas Singgih. Namun, Singgih menekankan bahwa seharusnya DMO tidak hanya ditentukan berdasarkan jumlah target produksi, dibagi dengan kebutuhan yang disampaikan pengguna. Melainkan, harus juga diperhatikan mengenai rantai logistik batubara supaya bisa menyesuaikan antara lokasi pertambangan, jenis batubara, dan pengangkutan batubara hingga ke tempat pengguna, terutama PLTU. Menurut Singgih, agar DMO berjalan efektif maka harus bisa mempertemukan antara jenis batubara dengan pasar yang membutuhkannya. "Bisa saja perusahaan punya kualitas rendah, dia mencari pasar (domestik) tidak ketemu, tapi ekspor ketemu. Atau nggak bisa ngirim ke domesitk, karena kemampuan logistiknya tidak memungkinkan," terang Singgih.
Sehingga, Singgih mengingatkan supaya pemerintah harus membuat blueprint Indonesian Coal Infrastructure Plan (ICIP) untuk memetakan antara potensi batubara dengan kebutuhan pasar di setiap wilayah. Sementara itu, saat dihubungi KONTAN, sejumlah perusahaan besar pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) mengaku siap untuk memenuhi kewajiban DMO tahun ini. Hal itu dikemukakan oleh Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira serta Direktur Independen Bumi Resources Dileep Srivastava. "Tahun lalu DMO kita sudah sesuai kebijakan yang ditetapkan. Kita akan mengikuti aturan pemerintah," kata Nadira. Hal itu juga diamini oleh Head of Corporate Communication Indika Energy Leonardus Herwindo. Ia bilang, pada tahun lalu, anak usaha Indika, yakni PT Kideco Jaya Agung menjadi pemasok DMO terbesar dengan 29,1% dari produksi perusahaan atau setara 9,9 juta ton. Leonardus bilang, skema DMO tahun lalu masih relevan untuk diterapkan, dan pihaknya tidak keberatan dengan jumlah tersebut. "Kideco berkomitmen untuk comply dengan peraturan," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini