JAKARTA. Pemerintah kembali berubah pikiran. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan tengah mengupayakan adanya klausul pungutan bea keluar dalam draf amandemen kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Oleh karena itu, Kementerian ESDM tidak mau terburu-buru merampungkan renegosiasi kontrak dengan sembilan PKP2B lantaran masih memperjuangkan diaturnya pungutan bea keluar. Meskipun sejatinya, draf renegosiasi sudah hampir final. "Jadi, masih ada dua item yang masih dibahas bersama dengan sembilan PKP2B, salah satunya bea keluar," kata Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM di kantornya, Jumat (22/5) akhir pekan lalu. Asal tahu saja, sejak Januari 2015 lalu terdapat sembilan PKP2B yang siap menandatangani perubahan kontrak. Yaitu, PT Bahari Cakrawala Sebuku, PT Borneo Indobara, PT Gunungbayan Pratama Coal, PT Jorong Barutama Greston, PT Indominco Mandiri, PT Indexim Coalindo, PT Mandiri Intiperkasa, PT Kartika Selabumi Mining, serta PT Trubaindo Coal Mining. Namun, penandatangan kontrak anyar tertunda lantaran adanya usulan dari Kementerian Keuangan terkait klausul bea ekspor batubara. Maklum, sembilan perusahaan tersebut menolak klausul tersebut karena berpotensi meningkatkan ongkos produksi. Semula, Kementerian ESDM menyatakan akan mengakomodasi keinginan pengusaha tersebut dan telah membicarakannya dengan Kementerian Keuangan serta Badan Kebijakan Fiskal. Tapi sekarang, pasca pergantian jajaran pimpinan di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, pemerintah kembali mengupayakan adanya pungutan tersebut tertulis dalam kontrak. Kebijakan bea ekspor sendiri bertujuan untuk menjamin ketersediaan pasokan batubara di dalam negeri. "Dari dua item yang dibahas, yang paling utama mengenai bea keluar," kata Bambang tanpa menyebutkan item lain yang masih di bahas. Selain itu, Kementerian ESDM juga telah menggelar rapat koordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait penerimaan negara. Bambang bilang, hasil pertemuan tersebut tentunya akan menjadi pertimbangan dalam pembahasan renegosiasi kontrak dengan PKP2B. Sebelumnya, Sudin, Corporate Secretary PT Golden Mines Energy Tbk, induk usaha PT Borneo Indobara mengatakan, pengutan bea keluar tentu makin mempersulit pengusaha tambang lantaran sekarang ini harga jual komoditas sedang merosot. "Ketetapan pajak dan royalti tidak ada persoalan bagi kami, namum kami keberatan dengan kebijakan bea keluar," kata dia. Hal yang sama juga diungkapkan Leksono Poeranto, Direktur PT Indotambang Raya Megah Tbk, induk usaha PT Jorong Barutama Greston, PT Indominco Mandiri, dan PT Trubaindo Coal Mining. Dia berharap pemerintah proses renegosiasi kontrak bisa cepat selesai sehingga dapat memberikan kepastian dalam menggelar kegiatan operasi produksi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pemerintah paksakan pungutan bea keluar batubara
JAKARTA. Pemerintah kembali berubah pikiran. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan tengah mengupayakan adanya klausul pungutan bea keluar dalam draf amandemen kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Oleh karena itu, Kementerian ESDM tidak mau terburu-buru merampungkan renegosiasi kontrak dengan sembilan PKP2B lantaran masih memperjuangkan diaturnya pungutan bea keluar. Meskipun sejatinya, draf renegosiasi sudah hampir final. "Jadi, masih ada dua item yang masih dibahas bersama dengan sembilan PKP2B, salah satunya bea keluar," kata Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM di kantornya, Jumat (22/5) akhir pekan lalu. Asal tahu saja, sejak Januari 2015 lalu terdapat sembilan PKP2B yang siap menandatangani perubahan kontrak. Yaitu, PT Bahari Cakrawala Sebuku, PT Borneo Indobara, PT Gunungbayan Pratama Coal, PT Jorong Barutama Greston, PT Indominco Mandiri, PT Indexim Coalindo, PT Mandiri Intiperkasa, PT Kartika Selabumi Mining, serta PT Trubaindo Coal Mining. Namun, penandatangan kontrak anyar tertunda lantaran adanya usulan dari Kementerian Keuangan terkait klausul bea ekspor batubara. Maklum, sembilan perusahaan tersebut menolak klausul tersebut karena berpotensi meningkatkan ongkos produksi. Semula, Kementerian ESDM menyatakan akan mengakomodasi keinginan pengusaha tersebut dan telah membicarakannya dengan Kementerian Keuangan serta Badan Kebijakan Fiskal. Tapi sekarang, pasca pergantian jajaran pimpinan di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, pemerintah kembali mengupayakan adanya pungutan tersebut tertulis dalam kontrak. Kebijakan bea ekspor sendiri bertujuan untuk menjamin ketersediaan pasokan batubara di dalam negeri. "Dari dua item yang dibahas, yang paling utama mengenai bea keluar," kata Bambang tanpa menyebutkan item lain yang masih di bahas. Selain itu, Kementerian ESDM juga telah menggelar rapat koordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait penerimaan negara. Bambang bilang, hasil pertemuan tersebut tentunya akan menjadi pertimbangan dalam pembahasan renegosiasi kontrak dengan PKP2B. Sebelumnya, Sudin, Corporate Secretary PT Golden Mines Energy Tbk, induk usaha PT Borneo Indobara mengatakan, pengutan bea keluar tentu makin mempersulit pengusaha tambang lantaran sekarang ini harga jual komoditas sedang merosot. "Ketetapan pajak dan royalti tidak ada persoalan bagi kami, namum kami keberatan dengan kebijakan bea keluar," kata dia. Hal yang sama juga diungkapkan Leksono Poeranto, Direktur PT Indotambang Raya Megah Tbk, induk usaha PT Jorong Barutama Greston, PT Indominco Mandiri, dan PT Trubaindo Coal Mining. Dia berharap pemerintah proses renegosiasi kontrak bisa cepat selesai sehingga dapat memberikan kepastian dalam menggelar kegiatan operasi produksi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News