KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemangkasan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62 Tahun 2024 dinilai akan mengancam kelangsungan program mandatori biodiesel atau mandatori campuran solar dengan bahan minyak nabati berbasis minyak kelapa sawit (CPO). Asal tahu saja, selama ini subsidi biodiesel diambil Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari pungutan ekspor sawit dan produk turunannya. Sehingga pemangkasan pungutan ekspor CPO akan berpengaruh juga pada penurunan pendapatan BPDPKS untuk subsidi biodiesel. Dirut BPDPKS Eddy Abdurrachman bahkan telah mengatakan bahwa di tahun-tahun berikutnya penerimaan dana BPDPKS untuk subsidi biodiesel akan semakin menurun. "Kalau kita di 2025 untuk B40, saving kita (dari pungutan ekspor) itu Rp 2 triliun lagi. Tapi kemampuan keuangan kita semakin menurun untuk membiayai program-program (biodiesel)," ungkapnya beberapa waktu lalu. Menurut Eddy, jika pemerintah ingin melanjutkan mandatori biodiesel yang lebih tinggi misalnya B50, B60 dan seterusnya, pemerintah harus mencari solusi lain sehingga tidak bergantung pada pemasukan dari pungutan ekspor. "Kalau kita ingin menggunakan bahan bakar yang lebih green ya kita harus bayar yang lebih besar, atau ada inovasi lain seperti penerapan carbon tax. Nanti hasilnya untuk subsidi yang green (bahan bakar) tadi," ungkapnya. Baca Juga: Tarif Pungutan Ekspor CPO Dipangkas, AALI Optimis Produsen Sawit Makin Kompetitif Adapun, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal juga mengatakan hal senada. Ia mengatakan PMK No 62/2024 memang berdampak positif pada industri sawit namun akan kontra produktif mendukung program biodiesel selanjutnya. "Sisi buruknya adalah dana BPDPKS yang dikumpulkan dari pungutan ekspor juga akan lebih terbatas atau lebih sedikit, dan artinya ini kaitannya dengan rencana pemerintah untuk transisi energi ke Biofeul," ujatnya. Menurut dia, kebijakannya harus klop, jangan membuat kebijakannya kontra produktif. "Ingin mendorong energi baru terbarukan termasuk di antaranya biofuel tapi kemudian pendanaan program B40 dan seterusnya berkurang, itu yang harus dilihat lebih jauh dampaknya," tambahnya. Ketua Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung juga mengamini, pemangkasan pungutan ekspor CPO akan berpengaruh pada terganggunya keberlanjutan transisi energi. Ia bilang, penurunan pungutan ekspor sawit berpotensi mengurangi ketersediaan pembiayaan subsidi biodiesel. Jadi hal ini bisa mengganggu keberlanjutan transisi energi," katanya. "Karena besarnya insentif atau subsidi untuk mandatori biodiesel sampai saat ini masih tergantung pada selisih harga biodiesel dengan harga solar impor. Selama ini subsidi biodiesel dibayar dari dana sawit atau pungutan ekspor sawit tadi," imbuhnya. Baca Juga: Menilik Dampak Penerapan PMK 62/2024 Terhadap Kinerja Ekspor CPO Indonesia Sebagai tambahan informasi, PMK Nomor 62 Tahun 2024 ini berbeda dengan peraturan sebelumnya yaitu PMK Nomor 154 Tahun 2022. Jika sebelumnya, mengelompokkan tarif pungutan ekspor berdasarkan rentang harga CPO dengan pungutan yang berkisar dari US$ 85 hingga US$ 240 per ton. Saat ini pungutan tidak lagi bersifat progresif, yakni tarif pungutan ekspor telah ditetapkan berdasarkan persentase dari harga referensi CPO yang ditetapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat