Pemerintah Perbanyak Terbitkan Surat Utang Jangka Pendek, Ini Plus dan Minusnya



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, akan meningkatkan penerbitan surat utang dengan tenor jangka pendek atau surat perbendaharaan negara (SPN) sebagai strategi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo menilai, rencana pemerintah untuk memperbanyak penerbitan surat utang bertenor pendek seperti SPN, tidak semata-mata ditujukan untuk menghindari penguncian bunga tinggi, tetapi juga merupakan bagian dari upaya pengembangan pasar uang, pendalaman pasar keuangan domestik, serta penguatan manajemen kas pemerintah.

“Dengan instrumen tenor pendek yang lebih aktif, pemerintah memiliki fleksibilitas lebih baik dalam mengelola arus kas harian dan menyesuaikan kebutuhan pembiayaan jangka pendek secara efisien, tanpa harus selalu bergantung pada penerbitan tenor panjang,” tutur Banjaran kepada Kontan, Senin (23/12/2025).


Baca Juga: BI: Pertumbuhan Kredit 8% – 12% Optimal Jaga Stabilitas Sistem Keuangan

Dari sisi risiko, ia menilai, utang jangka pendek memang sering dipersepsikan meningkatkan kebutuhan rollover alias memperpanjang atau mengganti utang lama yang jatuh tempo dengan utang baru.

Akan tetapi dalam konteks ini, Banjaran menilai, strategi pemerintah lebih tepat dibaca sebagai penataan ulang profil jatuh tempo (maturity profile) agar kewajiban refinancing tiap tahun menjadi lebih terukur dan manageable.

Menurutnya, dengan distribusi jatuh tempo yang lebih merata, risiko penumpukan jatuh tempo pada tahun tertentu dapat dikurangi.

Meski demikian, ia menilai, kunci utamanya tetap pada kualitas belanja dan realisasi pendapatan negara, sehingga pemanfaatan utang, baik jangka pendek maupun panjang, benar-benar produktif dan memberikan dampak luas bagi stabilitas serta pertumbuhan ekonomi.

Lebih lanjut, Banjaran menilai, terkait porsi penerbitan, SPN, termasuk SPN Syariah (SPNS), perlu disesuaikan dengan kedalaman pasar dan selera investor, khususnya institusi jasa keuangan.

Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan agar instrumen tetap likuid dan tidak menganggur. Oleh karena itu, menurutnya, porsi penerbitan SPN dan SPNS yang sejalan dengan komposisi portofolio SUN dan SBSN yang selama ini diterbitkan pemerintah dapat menjadi tolok ukur yang wajar untuk 2026.

Banjaran juga mengingatkan bahwa volatilitas pasar global, kondisi likuiditas domestik, serta kepercayaan investor perlu terus diwaspadai agar strategi pembiayaan jangka pendek tetap berjalan secara prudent dan kredibel.

Baca Juga: Kemenaker: Upah Minimum Berlaku untuk Karyawan dengan Masa Kerja Kurang dari 1 Tahun

Dalam kesempatan berbeda, Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menilai, rencana pemerintah untuk memperbanyak penerbitan surat utang dengan tenor pendek merupakan langkah yang positif dan patut diapresiasi.

Menurutnya, kebijakan tersebut dapat mendorong pendalaman pasar keuangan sekaligus meningkatkan daya tarik investasi di pasar obligasi pemerintah Indonesia. Ia menjelaskan bahwa di tengah kondisi global yang sangat dinamis, investor baik domestik maupun asing cenderung mencari surat utang negara dengan tenor pendek, yakni kurang dari atau maksimal satu tahun.

“Ini saya rasa sih juga sejalan, Bank Indonesia juga kan keluarkan (Sekuritas Rupiah bank Indonesia) SRBI versi variabelnya juga yang (Floating Rate Notes) FRN. Jadi langkah pemerintah ini sudah sejalan dengan kebijakan pendalaman pasar keuangan yang dilakukan oleh otoritas,” ungkapnya.

Disisi lain, Myrdal juga menilai, penerbitan surat utang berjangka pendek dapat memperkuat aliran dana ke dalam negeri. Menurutnya, variasi tenor SPN yang semakin beragam diharapkan mampu menarik minat investor atau pemilik dana yang sebelumnya menempatkan dananya di luar negeri untuk masuk ke pasar keuangan domestik, khususnya pasar surat utang negara.

Jika hal tersebut terjadi, ia menilai stabilitas fiskal dapat terus terjaga, nilai tukar rupiah berpotensi menguat, serta kondisi likuiditas tetap terpelihara.

Myrdal juga menambahkan bahwa, dengan arah suku bunga yang diperkirakan menurun pada tahun depan, momentum untuk memperbanyak seri tenor SPN merupakan langkah yang tepat.

Meski demikian, ia mengingatkan adanya risiko rollover yang perlu dikelola, terutama jika ketergantungan pada tenor pendek meningkat. Dalam pandangannya, porsi SPN sekitar 20% dari total penerbitan untuk jangka satu tahun masih tergolong sehat.

Sementara itu, sisanya dapat dialokasikan ke obligasi tenor benchmark, seperti 5 tahun dan 10 tahun, maupun tenor lainnya, termasuk 7 tahun, 15 tahun, 20 tahun, hingga di atas 20 tahun.

“Jadi ini bisa membuat pasar obligasi pemerintah semakin menarik, dan pada akhirnya semakin banyak dana yang masuk ke sini, juga akhirnya akan memperkuat dari sisi nilai tukar rupiah,” kata Myrdal.

Selanjutnya: Superbank Berhasil Cetak Laba, Begini Rekomendasi Saham SUPA

Menarik Dibaca: 5 Penghuni Kripto Top Gainers di Pasar yang Melemah, CRV Salah Satunya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News