Pemerintah percepat renegosiasi kontrak tambang



Jakarta. Ibarat pelari maraton, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tengah berlari kencang menjelang garis finis.Di pengujung pemerintahannya, Presiden SBY tampak ingin menyelesaikan sebagian dari seabrek pekerjaan rumah yang selamaini terkatung-katung. Salah satunya: negosiasi ulang kontrak pertambangan.Proses renegosiasi kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) selama ini terkesan berjalan di tempat. Padahal, negosiasi ulang dengan perusahaan pemegang KK dan PKP2B merupakan perintah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Menurut beleid tersebut, KK dan PKP2B yang telah ada sebelumUU Minerba tetap diberlakukan sampai kontrak atau perjanjian berakhir. Tapi, ketentuan dalam KK dan PKP2B harus disesuaikan selambat-lambatnya satu tahun sejak UU Minerba terbit melalui proses renegosiasi.Artinya, renegosiasi kontrak pertambangan semestinya sudah kelar 12 Januari 2010 silam. Sekadar mengingatkan, ada enam isustrategis yang harus dinegosiasi ulang. Keenam isu tersebut adalah wilayah kerja, kelanjutan operasi pertambangan, penerimaan negara, kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan tenaga kerja lokal serta barang dan jasa pertambangan dalam negeri.Meski merupakan amanat undang-undang, baru dua tahun kemudian pemerintah mulai serius melakukan proses renegosiasi, denganmenerbitkan Keputusan Presiden No. 3/2012 tentang Pembentukan Tim Evaluasi Renegosiasi Pertambangan. Tugas tim yang diketuai menteri koordinator perekonomian itu habis akhir tahun 2013 lalu. Sayang, hingga saat itu belum ada perusahaan pemegang KK dan PKP2B menyepakati poin-poin renegosiasi.Sukhyar, Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), beralasan, tak mudah mencapai kesepakatan negosiasi dengan perusahaan pemegang KK dan PKP2B. Sebab, renegosiasi merupakan sesuatu yang baru. Maklum, sesuai UU Minerba, tidak ada lagi rezim kontrak dalam tata kelola pertambangan nasional. Beleid pengganti UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan ini hanya mengenal rezim perizinan.Dengan rezim ini, kata Sukhyar, pemerintah lebih senang karena negara punya kedaulatan pengusahaan minerba. Pemerintahjuga bisa menerbitkan peraturan setiap saat yang harus diikuti pengusaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Pada rezim kontrak, pemerintah tak bisa seenaknya mengeluarkan aturan yang berbeda dengan kontrak, lantaran harus ada pembicaraan dulu dengan perusahaan.Karena perubahan rezim itulah, proses renegosiasi berjalan alot. Selain itu, negosiasi juga butuh waktu lama lantaran harus menyamakan persepsi yang berbeda. “Kami sekarang lebih serius,” kata Sukhyar.Hampir selesaiKeseriusan Pemerintahan SBY di pengujung jabatan ternyata membuahkan hasil. Maret lalu, sebanyak 6 perusahaan pemegang KK dan 19 perusahaan pemegang PKP2B sepakat meneken nota kesepahaman amendemen kontrak. Tak hanya itu, Sukhyar mengatakan, ada 15 perusahaan lagi yang secara prinsip sudah menyepakati seluruh isu renegosiasi. Itu berarti, hampir separuh dari 109perusahaan pemegang KK dan PKP2B sudah menyepakati renegosiasi kontrak.Menteri ESDM Jero Wacik bilang, renegosiasi kontrak dan perjanjian pertambangan sudah hampir selesai. Sebagian perusahaan yang semula ogah membangun pengolahan mineral mentah alias smelter kini sudah mau. Hampir semua urusan wilayah pertambangan juga telah selesai. “Terkait penggunaan produk dalam negeri ada yang ngeyel, tapi sekarang sudah mau,” jarnya.Tidak cuma perusahaan kecil, renegosiasi dengan perusahaan tambang kelas kakap juga cukup membuahkan hasil. Vale Indonesia, contohnya, sudah menyepakati enam isu renegosiasi. Menurut Jero, renegosiasi dengan Vale lebih mudah. Selainlantaran sudah punya smelter, Vale adalah perusahaan dari Brasil yang sama-sama negara berkembang. Renegosiasi dengan freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara juga sebentar lagi selesai.Jero menargetkan, proses renegosiasi bisa rampung sebelum Pemerintahan SBY berakhir Oktober nanti. Masalahnya, waktu yangdimiliki Jero hanya tersisa empat bulan lagi. Padahal, masih ada 69 perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang belum menyepakati renegosiasi. Pemerintah mampu?Priyo Pribadi Soemarmo, pengamat pertambangan, menyatakan, pemerintah harus menyelesaikan seluruh proses renegosiasi. Kalau tidak, itu artinya pemerintah tidak mengerjakan perintah UU Minerba. “Harus selesai sekarang agar tak ada pekerjaanrumah bagi pemerintah baru,” katanya.Memang, proses renegosiasi tidak mudah. Sebab, banyak isu renegosiasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara teknis.Bila isu itu mesti diikuti, bisnis tambang perusahaan bisa tak terurus. Meski begitu, menurut Priyo, pemerintah tidak boleh lagi lamban mengurus proses renegosiasi.Priyo menyarankan, pemerintah sebaiknya memilih perusahaan yang punya nilai strategis sebagai prioritas negosiasi ulang. Soalnya, banyak perusahaan yang sudah sepakat renegosiasi adalah perusahaan skala kecil. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya fokus pada perusahaan berskala besar dan strategis. “Freeport termasuk strategis lantaran terkait dengan masyarakat Papua yang memiliki faktor geopolitik sangat tinggi,” kata Priyo.Pekerjaan rumah memang wajib diselesaikan. Namun, jangan sampai pemerintah cuma kejar tayang asal selesai, sehingga bisa merugikan negara di masa mendatang.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 38 - XVIII, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander