Pemerintah perlu cermati dampak pelemahan rupiah terhadap utang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan nilai tukar rupiah sempat menyentuh level tertingginya di level Rp 13.900. Meski begitu, pemerintah masih mengkalkulasi secara cermat dampak pelemahan rupiah terhadap utang. 

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan Scenaider Clasein. H. Siahaan mengatakan, untuk saat ini terlalu dini menilai efek pelemahan rupiah terhadap utang pemerintah. “Kami masih melakukan kalkulasi secara cermat tentang efek kurs. Kalau sekarang masih terlalu dini untuk melihat efeknya mengingat pembayaran kewajiban tersebar dari awal tahun sampai ke akhir tahun,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (25/4).

Schenaider menambahkan, dampaknya akan lebih mudah terlihat setelah mencermati pergerakan nilai tukar dan realisasi utang pemerintah selama satu semester. “Nanti setelah realisasi satu semester akan lebih mudah untuk melihat gambaran utuhnya,” kata dia.


Sementar itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai akibat pelemahan nilai tukar rupiah, saat ini deviasi rupiah saat ini semakin lebar dari asumsi kurs rupiah di APBN 2018 yang dipatok Rp 13.400 per dollar AS. Alhasil, secara nominal memang akan ada kenaikan utang.

Tapi yang lebih penting adalah efek terhadap kewajiban utang luar negeri (ULN) pemerintah yang harus dibayar tahun ini. Menurut data Bank Indonesia kewajiban pembayaran utang luar negeri emerintah mencapai US$ 9,1 miliar di 2018.

“Misalnya asumsi kurs bisa Rp 14.000 maka selisih pembayaran ULN pemerintah mencapai Rp 5,5 triliun,” kata Bhima saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (25/4).

Bhima melanjutkan, deviasi kurs yang semakin jauh dari asumsi APBN berefek pada membengkaknya anggaran yang digunakan untuk pembayaran kewajiban utang valas.

Kemudian, ketika ULN-nya naik sementara kinerja ekspor tidak optimal, maka imbasnya akan terjadi kenaikan debt to service ratio (DSR).

Seperti diketahui, saat ini angka DSR sudah 34% berada di batas aman IMF maksimum 25%. “Di Asia, Indonesia salah satu yang paling tinggi (DSR)-nya. Ini jadi kurang sehat,” tambah Bhima.

Untuk itu, solusi yang bisa ditempuh adalah rupiah harus terus dijaga dengan kebijakan intervensi Bank Indonesia (BI). Bila diperlukan, BI dapat menaikkan bunga acuan 25-50 basis poin (0,25%-0,5%) untuk menahan dana asing keluar.

Untuk menjaga agar fiskal tetap kredibel, pemerintah harus menahan laju kenaikan utang khususnya penerbitan SBN valas. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan pendalaman pasar keuangan dengan memperbesar porsi investor domestik di surat utang pemerintah melalui penerbitan SBN ritel.

Bhima memperkirakan, sampai akhir tahun kemungkinan besar pelemahan rupiah akan terus berlanjut seiring potensi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat dan kondisi fundamental ekonomi yang melemah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi