Pemerintah Perlu Tingkatkan Basis Data Perpajakan Untuk Mendorong PAD



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan mencatat, rasio pendapatan asli daerah (PAD) terhadap pendapatan daerah secara nasional mencapai 29% atau Rp 334,4 triliun atau pada 2023. Angka ini terlihat mengalami fluktuatif dalam sembilan tahun terakhir.

Pada 2014, rasio PAD terhadap pendapatan daerah tercatat sebesar 24%. Angka ini terkoreksi pada tahun-tahun berikutnya menjadi 23,8% pada 2015 dan 22,9% pada 2016. 

Kemudian, rasio ini sempat naik ke level 25,4% pada 2017, lalu mengalami penurunan kembali pada 2018 dan 2019, masing-masing sebesar 24,6% dan 24,5%.


Lebih lanjut, selama masa pandemi hingga akhir tahun 2023, rasio PAD terus meningkat. Pada 2020 tercatat 23,7%, lalu merangkak naik di tahun 2021 menjadi 25,4% dan tahun 2022 menjadi 27,6%.

"PAD perlu terus dioptimalkan sebagai sumber Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal meningkat," kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Luky Alfirman dalam paparan di acara Musrengbangnas 2024, beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Kemenkeu Minta Pemda Optimalkan Pendapatan Asli Daerah

Menyoroti hal ini, Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan untuk meningkatkan PAD, langkah-langkah strategis yang dapat diambil pemerintah pusat adalah meningkatkan basis data perpajakan melalui modernisasi. 

Hal ini dilakukan dengan mendata ulang Wajib Pajak (WP) dan objek pajak serta memanfaatkan teknologi informasi dalam pengelolaan basis data perpajakan seperti database terintegrasi. Penggunaan teknologi informasi juga diterapkan dalam pelayanan perpajakan, seperti melalui e-SKPD dan e-payment.

Selain itu, penting untuk membangun organisasi perpajakan daerah berdasarkan fungsi yang jelas, termasuk pengelolaan data, pelayanan, penagihan, pemeriksaan, dan pengawasan. 

"Untuk menyesuaikan dasar pengenaan pajak, perlu dilakukan penilaian ulang berdasarkan kemampuan pembayar pajak, disertai dengan penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) pada setiap layanan," kata Yusuf kepada Kontan.co.id, Minggu (12/5).

Baca Juga: Tolak Kenaikan Cukai Rokok SKT, Berikut Tuntutan Buruh Rokok Jatim pada Pemerintah

Yusuf juga menerangkan, kerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKP) juga perlu diperkuat dalam hal penilaian dan penagihan. 

Di samping itu, bidang pemeriksaan dapat berkoordinasi dengan lembaga lain seperti Polri, Kejaksaan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) untuk mendukung efektivitas pengawasan. 

"Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) juga penting, termasuk melalui kerja sama kemitraan dengan pemerintah daerah lain yang telah berhasil dalam pemungutan perpajakan," ucapnya.

Di sisi lain, dia menilai rasio PAD di beberapa daerah yang masih rendah mengindikasikan beberapa permasalahan krusial dalam perekonomian daerah.

Baca Juga: Pungutan Wisatawan Asing di Bali Sudah Hampir Mencapai Rp 79 Miliar

Misalnya, tingginya ketergantungan pada transfer dana dari pemerintah pusat mencerminkan kurangnya kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan sendiri dari sumber-sumber ekonomi lokal.

Selain itu, beberapa daerah belum mengoptimalkan potensi sumber pendapatan lokal, seperti pajak properti, pajak restoran dan hotel, serta sektor pariwisata, yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap PAD.

"Permasalahan dalam pengelolaan perpajakan daerah, termasuk tingkat kepatuhan WP yang rendah dan sistem perpajakan yang kompleks atau tidak efisien juga turut berkontribusi pada rendahnya rasio PAD," jelasnya.

Dalam mengatasi hal ini, penting untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah secara keseluruhan, termasuk efisiensi penggunaan anggaran, pengendalian pengeluaran, dan transparansi dalam pelaporan keuangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati