Pemerintah prioritas cabut DNI importir film



JAKARTA. Revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2010 atau Perpres Daftar negatif Investasi (DNI) masih membahas soal sektor perfilman. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan mengatakan, sektor perfilman yang diutamakan adalah soal importasi perfilman.

Usai menghadiri rapat dengar pendapat di DPR, Senin (19/9), Gita mengatakan selama ini permasalahan impor film memang sering merugikan negara lantaran banyak importir yang mangkir bayar pajak. "Yang sedang kita garap ini soal perfilman. Nah, yang paling penting adalah soal importasi, karena asing itu tidak bayar pajak secara langsung, makanya menjadi masalah," katanya.

Menurutnya jika kesempatan di sektor importasi untuk asing diperlebar, maka akan ada keuntungan kemudahan bagi kedua belah pihak. "Kita mau coba buka, supaya asing bisa melakukan importasi langsung. Kalau langsung mereka bisa melakukan pembayaran pajak secara transparan," katanya.


Dia menjelaskan, sektor perfilman yang sudah pasti masuk DNI adalah importasi, produksi dan distribusi. Namun pembagian persentasenya masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Selain itu Gita mengatakan, pembukaan di sektor produksi dilakukan agar ada alih teknologi di bidang ini. "Tapi ini tergantung porsi lokalnya berapa, porsi asingnya berapa. Kalau soal distribusi, masih dipertanyakan apakah mereka bermitra dengan lokal atau tidak," tandasnya.

Hal tersebut ditegaskan lagi oleh Direktur Perfilman Syamsul Lussa. Saat dihubungi Kontan, Syamsul mengatakan pembagian persentase kepemilikan ini masih dikaji apakah bisa dinaikkan dari 49% menjadi 51% untuk kepemilikan asing.

Sebelumnya, Staf Khusus Kepala BKPM, Silmy Karim mengatakan revisi DNI ini tidak menjadi prioritas pemerintah lantaran sektor yang masuk dalam DNI tidak berkontribusi besar untuk meningkatkan laju investasi di Indonesia. Dia mengatakan, salah satu hal yang jadi prioritas BKPM adalah pembahasan disinsentif untuk perusahaan yang membangun pabrik di luar negeri tetapi ekspornya besar-besaran ke Indonesia.

Terkait pembahasan disinsentif ini, Gita bilang, pembahasannya masih lamban lantaran setiap kementerian punya kepentingan masing-masing. "Saya tidak tau perkembangannya, tetapi sudah mulai digarap dan ditelaah oleh kementerian masing-masing," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.