Pemerintah review kembali tax treaty



JAKARTA. Penerimaan negara mendapatkan mandat yang berat untuk tahun depan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghendaki adanya kenaikan penerimaan pajak Rp 600 triliun di 2015 dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014.

Dalam APBN-P 2014, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp 1.246,11 triliun. Kalau dinaikkan Rp 600 triliun, berarti tahun depan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.846,11 triliun. Dalam APBN 2015, target perpajakan Rp 1.380 triliun.

Otoritas Kementerian Keuangan mencari celah untuk bisa mengejar penerimaan tahun depan. Salah satunya adalah mereview tax treaty atawa perjanjian pajak.


Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan selama ini tax treaty yang dibuat Indonesia dengan negara lain secara bilateral justru merugikan Indoensia. "Makanya saya sedang berpikir apakah perlu moratorium dari tax treaty atau mereview kembali tax treaty yang ada," ujar Bambang, Jumat (21/11).

Sebagai gambaran, tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir perpajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. 

Nah, penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, Indonesia melakukan kerja sama tax treaty dengan 60 negara. Dari 60 negara tersebut, terdapat beberapa negara yang terkenal sebagai tax haven alias penawaran pajak rendah yaitu Switzerland dan Luxemburg.

Misalnya, dalam perjanjian tax treaty dengan negara Luxemburg.  Pajak dividen yang berlaku di negara ini terjadi bila si penerima dividen adalah perusahaan yang memiliki modal minimal 20% dari dividen pembayar. Pajak yang dikenakan adalah 15% untuk investasi perusahaan portofolio dan 10% untuk perusahaan dengan investasi langsung (FDI).

Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah membatalkan perjanjian Double Taxation Agreement (DTA) dengan Mauritius pada bulan Februari 2014. Otoritas Indonesia keberatan dengan investor non-Mauritius yang melalui perusahaan lepasnya bisa berinvestasi di Indonesia dan mengambil keuntungan pajak yang diberikan, seolah-olah mereka adalah penduduk Mauritius.

Bambang tidak menjelaskan secara detil negara mana yang akan dilakukan review tax treaty. Dirinya menegaskan akan melakukan review secara menyeluruh. Pasalnya, banyak perjanjian tax treaty yang tidak cocok karena hanya bertujuan untuk pelarian pajak.  

Selain melakukan review terhadap tax treaty, mantan Wakil Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mengaku akan memperkuat basis Ditjen Pajak seperti penambahan pegawai dan anggaran operasional pajak. Ketika ditanyakan apakah sanggup mengejar keinginan Jokowi menambahkan penerimaan sebesar Rp 600 triliun, dirinya mengaku akan mencoba penerimaan tahun depan lebih tinggi dari target APBN-P 2014.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto