KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat menilai tujuan utama pemerintah merevisi kebijakan bea keluar mineral logam tertentu menjadi lebih tinggi untuk mendorong program hilirisasi. Aturan yang dimaksud ialah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Dalam beleid tersebut, pemerintah menetapkan besaran tarif atau bea keluar dari produk hasil pengolahan mineral logam, seperti konsentrat tembaga, konsentrat besi laterit, konsentrat timbal, berdasarkan kapasitas pembangunan smelter paling sedikit mencapai 50%.
Baca Juga: Freeport Gugat Kebijakan Bea Keluar Ekspor Mineral, Menko Airlangga: Kita Lihat Saja Artinya, pemerintah tidak lagi membebaskan bea keluar terhadap komoditas ekspor mineral. Sedangkan pada aturan sebelumnya PMK Nomor 39 Tahun 2022, Menteri Keuangan memberikan tarif 0% untuk produk ekspor dari hasil pengolahan mineral logam jika pembangunan smelter lebih dari 50%. Adapun untuk tarif bea keluar di dalam aturan ini lebih tinggi dibandingkan aturan sebelumnya. Ambil contoh, tarif bea keluar untuk konsentrat tembaga di PMK 39/2022 untuk perusahaan yang sudah membangun smelter hingga tahap I (kemajuan fisik smelter 30%) hanya membayar bea keluar 5%. Kini dengan PMK 71/2023 perusahaan yang telah membangun smelter di tahap I (50%-70%) diwajibkan membayar tarif bea keluar 10%. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyatakan, diubahnya kebijakan bea keluar untuk ekspor mineral logam tertentu bukan berarti pemerintah menjadikan hal ini sebagai momentum berburu pendapatan dari sektor mineral. “Ada aspek lain yang sedang didorong pemerintah terutama dalam konteks hilirisasi,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (7/8).
Baca Juga: Freeport Berencana Gugat Aturan Bea Keluar, Begini Respons Kemenkeu Menurutnya, kebijakan bea keluar mineral ini merupakan jalan tengah dibanding pelarangan total ekspor bijih mentah. Jika yang diambil kebijakan tarif maka gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) oleh negara tujuan ekspor masih bisa dinegosiasikan. Tetapi kalau moratorium ekspor diberlakukan, akan susah dimenangkan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari kasus pelarangan ekspor bijih nikel. Namun ternyata, peraturan revisi bea keluar ini mengundang ketidaksetujuan dari pelaku usaha. Ambil contoh PT Freeport Indonesia yang berencana menggugat Pemerintah Indonesia terkait kebijakan bea keluar ekspor mineral logam ini. Freeport keberatan karena harus membayarkan bea keluar padahal perkembangan pembangunan smelter sudah mencapai 75%. Merujuk pada dokumen pengajuan di Securities and Exchange Commission (SEC) AS, Freeport McMoran (FCX) menyebutkan bahwa ketentuan kewajiban ekspor PTFI selama ini merujuk pada perizinan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang disepakati pada 2018 silam.
Baca Juga: Kementerian ESDM: Freeport Mesti Mengikuti Aturan Bayar Bea Keluar Ekspor Konsentrat Dalam kebijakan itu, tidak ada kewajiban ataupun pengenaan bea keluar jika perkembangan proyek smelter sudah mencapai 50%. Kemudian, pada Maret 2023, pemerintah Indonesia telah memverifikasi bahwa proyek smelter milik Freeport Indonesia sudah mencapai 50%. Dengan demikian, kewajiban ekspor dihilangkan secara efektif pada 29 Maret 2023.
Bhima melihat, Freeport Indonesia sudah diberikan waktu yang cukup panjang dari Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan smelternya. “Mungkin karena progresnya lambat jadi kebijakan bea keluar harus diambil,” ujarnya. Lagipula, kata Bhima, pemerintah memang sedang mengantisipasi penurunan harga dari beragam komoditas mineral dan batubara pada 2024 sehingga pendapatan pajak dan PNBP nya dikejar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .