Pemerintah rombak total penentuan upah buruh



JAKARTA. Aturan baru soal kebutuhan hidup layak (KHL)  menuai pro dan kontra. Buruh menilai beleid KHL yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 21 tahun 2016 tidak berpihak ke mereka. Sedangkan pengusaha menyambut baik aturan ini karena memberi kepastian kenaikan upah buruh setiap tahun.

Permenakertrans Nomor 21 tahun 2016 merupakan aturan yang merevisi Permenakertrans Nomor 13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL. Dalam aturan yang diteken Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri pada 27 Juni 2016 itu pemerintah mengubah total penetapan KHL.

Jika sebelumnya penetapan KHL dilakukan melalui survei langsung tentang harga 60 barang kebutuhan hidup, kini berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Aturan ini juga memuat soal koreksi otomatis KHL per tahun dari hasil pengalian upah minimum dengan inflasi nasional.


Jadi referensi upah

Upah minimum adalah upah bulanan terendah berupa upah tanpa tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan yang ditetapkan gubernur. Upah minimum ditetapkan berdasarkan KHL. Sementara komponen dan jenis kebutuhan hidup KHL ditinjau lima tahunan, tidak lagi tahunan (lihat tabel).

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai aturan baru tentang KHL ini jauh dari harapan buruh. "Peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup per lima tahun sudah kehilangan makna guna menentukan nilai upah minimum," katanya, akhir pekan lalu.

Aturan lama dengan cara survei langsung terhadap harga 60 item barang dan jasa lebih akurat menggambarkan kenaikan KHL, dibandingkan menggunakan data BPS. Menurutnya, seharusnya Dewan Pengupahan Nasional diberi kewenangan mencari data dan informasi dari lembaga lain dan diberikan kewenangan melakukan survey langsung ke pekerja atau buruh.

Sumber data ini, menurut Timboel, sangat penting untuk melengkapi data BPS. Sebab data BPS adalah data olahan, berbeda dengan survey langsung yang merupakan data primer. "Supaya rekomendasi lebih obyektif," ujarnya.

Sebelumnya Hanif bilang, selama ini penetapan upah banyak dipolitisasi, sehingga membuat kenaikan upah tidak rasional dan menimbulkan ketidakpastian. "Negara hadir agar untuk melindungi pekerja agar tidak terjatuh dalam upah murah, melindungi mereka yang belum bekerja agar bisa masuk ke pasar kerja, dan melindungi dunia usaha agar bisa berkembang untuk meningkatkan lapangan kerja", katanya.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat bilang, aturan baru ini diharapkan memberi kepastian bagi industri sampai 2019. "Buyer di luar negeri sudah bisa berhitung biaya buruh. Formula ini bisa menjadi referensi bagi pengusaha dan pembeli," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia