Pemerintah serius ingin atur cukai emisi kendaraan



JAKARTA. Pembeli kendaraan bermotor patut merasa cemas di tahun depan. Pasalnya, pemerintah membidik sektor ini untuk dikenakan tarif cukai, seperti halnya rokok dan minuman beralkohol. Alhasil, pembeli akan membeli motor dan mobil dengan harga yang lebih mahal. Aturan ini adalah terobosan baru pemerintah. Pemerintah merasa jengah melihat kendaraan bermotor lalu lalang di jalanan dengan polusi udara yang hebat dan merusak lingkungan.

Selama ini yang menjadi objek pemerintah untuk cukai hanyalah yang berhubungan dengan kesehatan. Sekarang pemerintah menambahkan objek cukai yang sifatnya pencemaran lingkungan. Ada dua jenis kategorinya, yaitu  pencemaran udara dan pencemaran tanah dan air. Dua kategori pencemaran ini akan dikeluarkan kebijakan tarif cukainya secara bertahap. Yang paling siap adalah pencemaran udara, di mana saat ini pemerintah sedang fokus untuk mempersiapkannya.

Pada tahun depan ditargetkan, satu dari dua jenis kebijakan pencemaran yang menjadi fokus ini akan selesai.


Wakil Menteri Keuangan II Bambang Brodjonegoro mengatakan, sektor transportasi menjadi sektor yang selama ini mencemari udara.

Karenanya, sektor ini menjadi sasaran pemerintah. Kelak, kendaraan bermotor baru yang emisi gas buangnya melewati batas aman akan terkena cukai. Sayangnya, Bambang enggan membeberkan berapa batas aman yang ditetapkan pemerintah. "Batas aman ini nanti ahli lingkungan hidup yang lebih tahu," ujarnya di Jakarta, Rabu (23/10).

Bambang melanjutkan, selama ini instrumen pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap pencemaran lingkungan tidaklah cukup. Pemerintah tidak bisa lagi mentolerir pencemaran yang terjadi terus-menerus.

Dirjen bea dan cukai belum tahu

Dibutuhkan instrumen baru semacam denda sebagai bentuk ganti rugi, yang kemudian berbentuk tarif cukai. Namun, berapa besaran tarif cukai yang akan dikenakan, Bambang masih bungkam. Dirjen Bea Cukai Kemenkeu Susiwijono Budiharso mengaku belum mengetahui mekanisme detail kebijakan ini.

“Ini adalah kewenangan penuh Badan Kebijakan Fiskal. Kalau kebijakan ini sudah jelas, nanti Dirjen Bea Cukai akan diundang untuk pembicaraan lebih lanjut,” katanya. Niat pemerintah ini direspons dingin pelaku industri. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal, dan Publik Hariyadi B. Sukamdani mempertanyakan landasan kebijakan ini.

Menurut Hariyadi, apabila pemerintah ingin mengatasi pencemaran lingkungan yang terjadi dari kendaraan bermotor seharusnya pemerintah melakukan penindakan di lapangan. Katalisnya diperbaiki atau operasinya dihentikan dan bukan dengan cukai. Apalagi, masyarakat yang membeli kendaraan bermotor sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Ditambah cukai berarti double pembayaran," tandas Hariyadi. Seharusnya, pemerintah membangun infrastruktur jalan, memperbaiki dan meningkatkan kualitas transportasi publik. Pengenaan cukai pada kendaraan bermotor tidaklah sesuai.

Mengurangi defisit transaksi berjalan

Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasentyantoko melihat, ada maksud pemerintah untuk mengurangi jumlah kendaraan bermotor dengan kebijakan ini.

Mengapa ingin dikurangi volumenya, karena membebani kondisi current account defisit atawa defisit transaksi berjalan. Kalau turun, berarti defisit juga mengempis karena beban impor komponen menurun. Menurut Prasentyantoko, kebijakan ini positif asalkan diimbangi dengan transportasi publik yang memadai.

Kenyataannya, transportasi publik kita belum memadai. Akibatnya ini tidak adil bagi masyarakat. "Karena mengurangi hak mereka untuk membeli kendaraan," tuturnya. Memang, sebagai negara yang peduli akan lingkungan, isu mengenai pencemaran lingkungan ini harus menjadi prioritas.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih memberi contoh Uni Eropa. Tiket pesawat yang ke sana akan dikenakan pajak khusus yang akan digunakan untuk perbaikan lingkungan. Cuma, untuk kebijakan tarif cukai ini, menurut Lana tidak adil apabila hanya dikenakan pada kendaraan bermotor baru. Seharusnya, kendaraan bermotor yang lama juga dikenakan. "Karena mobil lama itu yang banyak emisi tidak amannya," tandas Lana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan