JAKARTA. Sejumlah perusahaan raksasa cokelat siap berekspansi ke Indonesia. Tapi, kedatangan mereka bukan tanpa tuntutan. Mereka meminta pemerintah Indonesia memberikan berbagai kemudahan, termasuk insentif fiskal. Bak gayung bersambut, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar menegaskan, pemerintah akan memberikan kemudahan bea masuk untuk barang modal dan bahan baku industri pengolahan kakao di Indonesia. “Indonesia menawarkan keringanan pajak untuk barang modal dan baku investasi itu,” kata Mahendra di kantornya, Rabu (29/9). Pernyantaaan Mahendra ini meluncur setelah ia bertemu dengan beberapa wakil perusahaan cokelat, seperti Mars, Cargill, Olam International, Armajaro dan Ferrero di Amsterdam, Belanda, pekan lalu. Mahendra yang hadir dalam European Cocoa Assocoation itu juga menawarkan komitmen mengembangkan industri pengolahan kakao.Tidak hanya itu, pemerintah juga siap memberikan insentif khusus bagi industri kakao . Kini, bentuk insentif tersebut masih dibahas Kementerian Perindustrian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Nantinya, insentif untuk sektor kakao akan disusun bersama insentif untuk sektor minyak sawit mentah (CPO) dan karet. Selama ini, industri pengolahan kakao masih dikenakan pajak penghasilan sebesar 25% dan pajak pertambahan nilai 10%.Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman menyambut baik rencana pemberian insentif ini. Cuma, imbuhnya, khusus insentif bea masuk, industri pengolahan kakao sudah tidak membutuhkan lagi.Ia bercerita, selama ini, impor barang modal termasuk berbagai peralatan untuk industri agro, termasuk kakao sudah dikenakan bea masuk 0%. Sedangkan, barang yang terkena bea masuk hanyalah bahan baku, yaitu sebesar 5%. Nah, ia meminta pemerintah tidak mengubah lagi besaran bea masuk bahan baku tersebut. Sehingga, biji kakao lokal bisa bersaing dengan barang impor.Selama ini, industri pengolahan kakao Indonesia hanya membutuhkan biji kakao untuk membuat cokelat bubuk (powder). Coklat bubuk inilah yang kemudian diolah menjadi berbagai jenis makanan dari cokelat.Untuk menghasilkan cokelat bubuk, perusahaan pengolahan menggunakan 70% kakao yang belum difermentasi dan 30% sisanya kakao fermentasi. Kakao fermentasi inilah yang selama ini banyak diimpor. Maklum saja, kebanyakan kakao milik petani belum fermentasi. Nah, jika bea masuk biji kakao dipangkas, maka impor kakao fermentasi bisa jadi akan membanjiri pasar Indonesia. Jika ini terjadi, petani kakao lokal akan tersisih.Berbeda dengan bea masuk dan insentif pajak, pemerintah justru tidak akan mengubah kebijakan bea keluar (BK) ekspor kakao. Mahendra memastikan, Kementerian Perdagangan tak akan mencabut aturan BK kakao. Kini, ekspor kakao terkena BK antara 0-15%. Besaran BK ini menyesuaikan dengan perkembangan harga kakao dunia.Kepastian ini sekaligus meruntuhkan harapan para petani kakao. Sebelumnya, Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mendesak pemerintah merevisi aturan BK. Soalnya, selama ini, aturan tersebut hanya menyusahkan petani. Maklum saja, para eksportir justru membebankan pembayaran BK itu kepada petani kakao dengan cara memotong harga pembelian sebesar BK yang berlaku pada bulan tersebut.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pemerintah siapkan gimmick untuk calon investor kakao
JAKARTA. Sejumlah perusahaan raksasa cokelat siap berekspansi ke Indonesia. Tapi, kedatangan mereka bukan tanpa tuntutan. Mereka meminta pemerintah Indonesia memberikan berbagai kemudahan, termasuk insentif fiskal. Bak gayung bersambut, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar menegaskan, pemerintah akan memberikan kemudahan bea masuk untuk barang modal dan bahan baku industri pengolahan kakao di Indonesia. “Indonesia menawarkan keringanan pajak untuk barang modal dan baku investasi itu,” kata Mahendra di kantornya, Rabu (29/9). Pernyantaaan Mahendra ini meluncur setelah ia bertemu dengan beberapa wakil perusahaan cokelat, seperti Mars, Cargill, Olam International, Armajaro dan Ferrero di Amsterdam, Belanda, pekan lalu. Mahendra yang hadir dalam European Cocoa Assocoation itu juga menawarkan komitmen mengembangkan industri pengolahan kakao.Tidak hanya itu, pemerintah juga siap memberikan insentif khusus bagi industri kakao . Kini, bentuk insentif tersebut masih dibahas Kementerian Perindustrian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Nantinya, insentif untuk sektor kakao akan disusun bersama insentif untuk sektor minyak sawit mentah (CPO) dan karet. Selama ini, industri pengolahan kakao masih dikenakan pajak penghasilan sebesar 25% dan pajak pertambahan nilai 10%.Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman menyambut baik rencana pemberian insentif ini. Cuma, imbuhnya, khusus insentif bea masuk, industri pengolahan kakao sudah tidak membutuhkan lagi.Ia bercerita, selama ini, impor barang modal termasuk berbagai peralatan untuk industri agro, termasuk kakao sudah dikenakan bea masuk 0%. Sedangkan, barang yang terkena bea masuk hanyalah bahan baku, yaitu sebesar 5%. Nah, ia meminta pemerintah tidak mengubah lagi besaran bea masuk bahan baku tersebut. Sehingga, biji kakao lokal bisa bersaing dengan barang impor.Selama ini, industri pengolahan kakao Indonesia hanya membutuhkan biji kakao untuk membuat cokelat bubuk (powder). Coklat bubuk inilah yang kemudian diolah menjadi berbagai jenis makanan dari cokelat.Untuk menghasilkan cokelat bubuk, perusahaan pengolahan menggunakan 70% kakao yang belum difermentasi dan 30% sisanya kakao fermentasi. Kakao fermentasi inilah yang selama ini banyak diimpor. Maklum saja, kebanyakan kakao milik petani belum fermentasi. Nah, jika bea masuk biji kakao dipangkas, maka impor kakao fermentasi bisa jadi akan membanjiri pasar Indonesia. Jika ini terjadi, petani kakao lokal akan tersisih.Berbeda dengan bea masuk dan insentif pajak, pemerintah justru tidak akan mengubah kebijakan bea keluar (BK) ekspor kakao. Mahendra memastikan, Kementerian Perdagangan tak akan mencabut aturan BK kakao. Kini, ekspor kakao terkena BK antara 0-15%. Besaran BK ini menyesuaikan dengan perkembangan harga kakao dunia.Kepastian ini sekaligus meruntuhkan harapan para petani kakao. Sebelumnya, Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mendesak pemerintah merevisi aturan BK. Soalnya, selama ini, aturan tersebut hanya menyusahkan petani. Maklum saja, para eksportir justru membebankan pembayaran BK itu kepada petani kakao dengan cara memotong harga pembelian sebesar BK yang berlaku pada bulan tersebut.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News