KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ismail Wahab, Direktur Serealia, Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan, meski Indonesia sudah tidak impor beras sejak 2019. Namun masih ada komoditas pangan lainnya dimana Indonesia masih mengandalkan impor dalam pemenuhannya. Adapun komoditi tersebut ialah, gandum, jagung dan kedelai. Untuk tiga komoditas tersebut, Ismail menyebut pihaknya telah menyusun strategi pemenuhannya di tengah adanya ancaman krisis pangan dunia. Pasalnya beberapa negara produsen sudah menghentikan ekspor gandum mereka untuk beberapa waktu. Strategi yang akan digunakan untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan gandum dalam negeri ialah dengan subtitusi dengan pangan lokal, seperti singkong, sagu dan sorgum. Tahun lalu impor gandum Indonesia mencapai 11,69 juta ton.
Baca Juga: Antisipasi Ancaman Krisis Pangan Global, Kementan Siapkan Substitusi Gandum Secara perlahan pemerintah akan melakukan pengurangan impor gandum di mana tahun ini ditargetkan impor gandum berkurang 5% dan tahun depan 10%, hingga pada akhirnya tahun 2025 impor gandum berkurang 20%. "Terkait pangan impor memang tidak bisa kita
bimsalabim menangani gandum ini. Sudah terlalu lama dan selama ini kita juga tidak mengembangkan gandum, karena sangat sulit sejak tahun 2000 berapa kita coba cari wilayah-wilayah yang sesuai untuk gandum tapi tidak kita dapatkan, seandainya dapat pun tidak efisien," kata Ismail dalam Diskusi Daring, Selasa (9/8). Dengan perang Rusia-Ukraina, kemudian India yang juga ikut melakukan penghentian ekspor gandumnya. Oleh karenanya pemerintah mengembangkan sorgum yang satu famili dengan gandum untuk subtitusi gandum. Kemudian untuk jagung, saat ini stok dalam negeri relatif baik. Bahkan ada pengajuan dari beberapa pengusaha dan pengepul jagung untuk mengekspor jagung sebanyak sekitar 5.000 ton jagung. Namun pemerintah belum memberikan izin untuk ekspor karena khawatir apabila di dalam negeri bisa tidak bisa terpenuhi. Untuk jagung, Pemerintah masih mengimpor jagung untuk pangan, sedangkan untuk jagung pakan ternak Indonesia sudah tidak impor selama tiga tahun. Maka tahun ini pemerintah mencoba lakukan peningkatan produksi jagung rendah aflatoksin (JRA) untuk subtitusi impor jagung pangan, hingga mengurangi impor jagung pangan. "Untuk pangan kita masih impor dan kita harus memenuhi dalam negeri dengan cara jagung dengan rendah aflatoksin. Jagung ini prosesnya lebih banyak penanganan pasca panen, supaya jagung ini rendah aflatoksin," imbuhnya. Impor jagung tahun 2021 sebesar 987.005 ton. Di mana impor didapatkan 63% dari Argentina, 16% dari Brazil dan 13% dari Amerika Serikat. Untuk meningkatkan produksi JRA, strategi yang digunakan ialah kewajiban serap jagung lokal, duplikasi produk JRA di daerah sentra jagung dan penggunaan benih jagung yang memiliki kandungan pati yang tinggi. Uji coba produksi JRA dengan DNA dilakukan di Lombok Tengah Provinsi NTB.
Baca Juga: Rusia dan Ukraina Sepakat Prosedur Pengamanan Tertulis, Ekspor Pangan Bakal Lancar Adapun untuk produksi jagung sampai awal Agustus lalu, Ismail menyebut rata-rata masih di atas 1 juta ton jagung pipilan basah. Maka dipastikan stok jagung masih aman untuk penuhi kebutuhan dalam negeri. "Artinya masih surplus, jagung itukan 80% untuk pakan," kata Ismail. Ismail mengatakan, untuk kedelai Indonesia juga sangat tergantung pada impor yakni, 2,5 juta ton biji kedelai didatangkan dari luar negeri dan 4,9 juta ton impor berbentuk bungkil. "Kita akan mencoba memproduksi kedelai dalam negeri. Beberapa skema kita mencoba strategi bagaimana kedelai ini semakin semakin tahun kita bisa penuhi dengan baik," kata Ismail. Tahun ini Kementerian Pertanian mencoba 350.000 hektar tanam kedelai. Kemudian tahun 2023 akan ditingkatkan menjadi 900.000 hektar, hingga tahun 2026 bisa mencapai 1,5 juta hektar. Ismail mengungkapkan, komoditas pangan yang sangat tergantung dengan impor ialah kedelai dan bawang putih. Namun untuk bawang putih Ismail mengaku bahwa pemerintah belum siap, berbeda dengan kedelai yang kini sudah dilakukan pengembangan. Maka pemerintah perlu segera melakukan pengembangan budidaya bawang putih. "Kedelai kita mulai tanam, bawang putih harus segera ini. Karena tidak ada subtitusi bawang putih," ungkapnya. Guru Besar Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa total impor gandum pada tahun 2021 tembus hingga 11,7 juta ton. Jumlah ini mengalami kenaikan dari 2020 yaitu baru 10,5 juta ton. Pangan berbasis gandum di Indonesia mengalami kenaikan. Dimana tahun 1970 pangan berbasis gandum hampir 0%. Kemudian pada 2010 melonjak hingga 18,3% dan semakin naik pada 2020 menjadi 26,6%. Ia mengkhawatirkan apabila kecenderungan ini terus terjadi, maka diperkirakan saat 100 tahun Indonesia merdeka, 50% kebutuhan pokok tergantikan gandum. "[Diversifikasi pangan] Bukan sorgum, jagung, tapi gandum," kata Andreas. Mengenai ancaman krisis pangan global, Ia melihat bahwa krisis pangan dunia takkan terjadi pada 2022 maupun 2023. Ia melihat, justru tren saat ini harga pangan dunia terus mengalami penurunan. Sedangkan komoditas utama penyebab krisis pangan dunia biasanya karena sektor serealia.
Baca Juga: Tahun Depan, Indonesia Tak Akan Nikmati Windfall Lonjakan Komoditas "Saya tidak percaya krisis pangan dunia akan terjadi 2022 bahkan sampai 2023. Karena komponen terbesar komoditas yang mempengaruhi krisis pangan dunia adalah serealia, tapi serealia baik-baik saja," kata Dia. Namun, meski diperkirakan krisis pangan global tak terjadi, Indonesia tetap perlu menjaga kesiapan jika nanti sewaktu-waktu terjadi hal yang dikhawatirkan. Pasalnya, Indonesia mengalami penurunan posisi di indeks ketahanan pangan dunia dari posisi 62 pada 2019, kemudian turun ke-65 di 2020 dan tahun 2021 ke posisi 69. "Paling penting di isu natural
resources and resilience Indonesia berada di urutan terbawah yaitu 113 dari 113 negara. Ini merupakan isu yang sangat penting karena ini menunjukkan kemampuan kita kapasitas kita untuk memproduksi pangan di masa depan dan juga daya pedal kita terhadap guncangan harga pangan," ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .