JAKARTA. Tumpang tindih peraturan di daerah dan di pusat banyak merugikan dunia usaha. Untuk itu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dibantu USAID akan melakukan penyisiran untuk memetakan regulasi yang tumpang tindih dan menimbulkan ketidakpastian hukum termasuk ekonomi biaya tinggi. Badan Pembangunan Internasional Pemerintah AS (USAID) melalui Senada (Proyek Peningkatan Daya Saing Indonesia) dan Bappenas sejak pertengahan 2008 telah mengumpulkan sekitar 1.000 peraturan perundang-undangan untuk dilakukan pemetaan apakah peraturan tersebut merugikan atau menguntungkan bagi dunia usaha. Sebagian besar peraturan tersebut merupakan peraturan daerah kabupaten/kotamadya dengan total mencapai 268 peraturan. Setelah itu sebanyak 184 berupa keputusan menteri. Dua institusi itu akan melakukan filterasi dengan masukan asosiasi dunia usaha dan pengusaha, konsultan independen dan akademisi untuk melihat sejauh mana efek regulasi bagi dunia usaha. “Rampung Juli tahun ini dan akan menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk dilakukan penataan, baik revisi ataupun pencabutan,” kata Deputi Direktur Senada-USAID David Ray di sela-sela Seminar Nasional RegMAP (Regulatory Mapping) di Jakarta, kemarin. Ray menyarankan agar pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat dan daerah mau mereformasi peraturan yang mengganggu iklim usaha di negeri tersebut. Peraturan ini telah menciptakan ekonomi biaya tinggi bagi pengusaha dibandingkan dengan negara lain. Ia mencontohkan di Indonesia untuk memulai bisnis membutuhkan waktu 76 hari, sedangkan di New Zealand hanya satu hari. “Persentase biaya memulai bisnis mencapai 78% dari pendapatan per kapita, sedangkan di Denmark 0%,” katanya. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta sendiri mengakui bahwa Indonesia masih menghadapi masalah regulasi yang tumpang tindih. Hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum termasuk ekonomi biaya tinggi yang menghambat iklim usaha. Bahkan menurut Paskah, banyak peraturan perundang-undangan di daerah yang hanya sekedar meningkatkan sumber pendapatan daerah [PAD]. “Banyak peraturan yang tidak mempertimbangkan adanya iklim usaha yang kondusif,” katanya. Dengan perbaikan berbagai peraturan bagi dunia usaha, diharapkan terjadi potensi peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 23 miliar atau Rp 275 triliun per tahun dan investasi naik US$ 6 milliar. Tanpa adanya tumpang tindih peraturan, maka iklim usaha dan investasi akan meningkat sehingga dunia usaha berkembang dan mendorong tingkat produktivitas.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pemerintah Sisir Peraturan Yang Rugikan Dunia Usaha
JAKARTA. Tumpang tindih peraturan di daerah dan di pusat banyak merugikan dunia usaha. Untuk itu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dibantu USAID akan melakukan penyisiran untuk memetakan regulasi yang tumpang tindih dan menimbulkan ketidakpastian hukum termasuk ekonomi biaya tinggi. Badan Pembangunan Internasional Pemerintah AS (USAID) melalui Senada (Proyek Peningkatan Daya Saing Indonesia) dan Bappenas sejak pertengahan 2008 telah mengumpulkan sekitar 1.000 peraturan perundang-undangan untuk dilakukan pemetaan apakah peraturan tersebut merugikan atau menguntungkan bagi dunia usaha. Sebagian besar peraturan tersebut merupakan peraturan daerah kabupaten/kotamadya dengan total mencapai 268 peraturan. Setelah itu sebanyak 184 berupa keputusan menteri. Dua institusi itu akan melakukan filterasi dengan masukan asosiasi dunia usaha dan pengusaha, konsultan independen dan akademisi untuk melihat sejauh mana efek regulasi bagi dunia usaha. “Rampung Juli tahun ini dan akan menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk dilakukan penataan, baik revisi ataupun pencabutan,” kata Deputi Direktur Senada-USAID David Ray di sela-sela Seminar Nasional RegMAP (Regulatory Mapping) di Jakarta, kemarin. Ray menyarankan agar pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat dan daerah mau mereformasi peraturan yang mengganggu iklim usaha di negeri tersebut. Peraturan ini telah menciptakan ekonomi biaya tinggi bagi pengusaha dibandingkan dengan negara lain. Ia mencontohkan di Indonesia untuk memulai bisnis membutuhkan waktu 76 hari, sedangkan di New Zealand hanya satu hari. “Persentase biaya memulai bisnis mencapai 78% dari pendapatan per kapita, sedangkan di Denmark 0%,” katanya. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta sendiri mengakui bahwa Indonesia masih menghadapi masalah regulasi yang tumpang tindih. Hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum termasuk ekonomi biaya tinggi yang menghambat iklim usaha. Bahkan menurut Paskah, banyak peraturan perundang-undangan di daerah yang hanya sekedar meningkatkan sumber pendapatan daerah [PAD]. “Banyak peraturan yang tidak mempertimbangkan adanya iklim usaha yang kondusif,” katanya. Dengan perbaikan berbagai peraturan bagi dunia usaha, diharapkan terjadi potensi peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 23 miliar atau Rp 275 triliun per tahun dan investasi naik US$ 6 milliar. Tanpa adanya tumpang tindih peraturan, maka iklim usaha dan investasi akan meningkat sehingga dunia usaha berkembang dan mendorong tingkat produktivitas.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News