KONTAN.CO.ID - TANGERANG SELATAN. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji menyatakan saat ini pemerintah sedang menyusun Peraturan Presiden yang mengatur Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, atau Carbon Capture Storage (CCS) untuk sektor industri. “Saat ini payung hukum CCS/CCUS baru terbatas di Permen ESDM No 2 Tahun 2023 yang hanya untuk hulu migas, karbon dari industri tidak bisa diinjeksikan ke
acquifer,” ujarnya ditemui di sela acara IPA Convex 2023 di ICE BSD, Rabu (26/7). Tutuka menjelaskan lebih lanjut, Permen No 2 Tahun 2023 yurisdiksi-nya hanya di Kementerian ESDM saja sehingga ruang lingkupnya hanya terbatas pada sektor minyak dan gas bumi saja.
Sedangkan injeksi
acquifer bawah tanah, ruang lingkupnya lebih luas yakni melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Maka itu Perpres ini dibuat untuk mengakomodir kepentingan dari lintas kementerian.
Baca Juga: Mubadala Energy Teken Kerja Sama Pengembangan CCS/CCUS dengan Pertamina Tutuka bilang, tujuan utama dibuatnya Perpres ini, untuk mengembangkan teknologi dan penerapan CCS di Indonesia. Sebagai bocoran, di dalam Perpres CCS ini akan memuat dua poin utama. Pertama, karbon (CO2) industri bisa diinjeksikan ke dalam
acquifer sebagai CCS. Kedua, daerah baru yang bisa digunakan sebagai CCS. “Misalnya wilayah kerja (WK) industri kalau migas kan WK produksi, ke depan (ketika sumber daya habis) akan jadi WK injeksi dan akan menjadi injection sharing contract (IJC). Ini akan dilelang,” jelasnya. Adapun WK Injeksi tersebut akan dimanfaatkan sebagai lokasi penyimpanan karbon. Pada proses pelelangan WK Injeksi tersebut tetap ada di bawah Ditjen Migas Kementerian ESDM. “Namun masalahnya kalau Perpres, kalau kita mau bekerja di sini, harus dimasukkan ke Revisi Undang-Undang Migas yang sekarang. Tetapi nanti akan mintakan fatwa supaya (CCS) bisa segera dikelola,” terangnya. Adapun perihal pihak yang akan memonitor jalannya praktik CCS di Indonesia sejauh ini masih dilakukan oleh SKK Migas. Meski demikian, karena praktik ini tidak hanya melibatkan sektor migas saja, pemerintah dan DPR akan membahas siapa pihak yang sebaiknya mengelola. Sebagai informasi, CCS merupakan salah satu teknologi yang memungkinkan penangkapan dan penyimpanan karbon di bawah tanah. Tutuka menjelaskan, pada praktik CCS ialah gas yang ditangkap dan dilarutkan ke air. “Jadi hanya untuk
store. Memasukkan gas ke air cenderung sulit. Larutan gas ke air itu kecil. Jadi lama,” terangnya. Maka itu, menurutnya pelaksanaan CCS cenderung lebih sulit dibandingkan teknologi Penangkapan, Pemanfaatan dan Penyimpanan Karbon (CCUS). CCUS ialah menginjeksikan gas ke dalam
reservoir untuk mendorong minyak dan gas yang tersimpan di dalam tanah. Teknologi ini salah satu upaya Pemerintah untuk mewujudkan rendah emisi dan mendorong peningkatan produksi migas.
Baca Juga: Kementerian ESDM Pastikan Proyek CCS/CCUS Tidak Masuk Program JETP Misalnya saja proyek CCUS yang sudah berjalan saat ini pada proyek Tangguh, Papua Barat yang menginjeksikan karbon ke dalam
reservoir gas. Selain itu ada berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini terdapat 15 proyek CCS/CCUS dalam berbagai tahapan, misalnya Gundih CCUS/Enhanced Gas Recovery (EGR) di Jawa Tengah, dan Sukowati CCUS/Enhanced Oil Recovery (EOR) di Jawa Timur.
“Produksi Co2 dimasukkan lagi ke reservoirnya, itu lebih mudah. Gas larut ke gas atau minyak lebih mudah,” ujarnya. Maka itu, Tutuka mengindikasikan pelaksanaan CCS akan lebih lama dibandingkan CCUS karena prosesnya lebih sulit dan lama. Saat ini, pelaksanaan CCS masih di tahap awal dan praktik di dunia belum begitu banyak contohnya. “Jadi kita semua sedang dalam studi dan teknologi akan terus berkembang. Jadi sebagai pemerintah saya mendorong agar ini dilakukan. Saya memotivasi, itu bagus tapi jangan euforia, bilang itu bisa semuanya. Itu
nggak. Itu harus hati-hati,” kata Tutuka.
Editor: Handoyo .