Pemerintah Tak Naikkan Cukai Rokok Setinggi-tingginya, Begini Alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berdasarkan hasil studi Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI) menemukan fakta bahwa 25% dari total pendapatan harian yang diperoleh anak jalanan digunakan untuk membeli rokok.

Peneliti PKJS-UI Risky Kusuma Hartono memaparkan, tingginya konsumsi rokok oleh anak jalanan disebabkan karena harga rokok di Indonesia masih cenderung murah ketimbang di negara lain.

Oleh karena itu sebagai upaya menurunkan tingkat prevalensi merokok pada anak jalan, PJKS-UI meminta adanya penyesuaian harga rokok agar menekan keterjangkauannya oleh anak dan remaja terutama anak jalan.

Baca Juga: Penjelasan Ditjen Bea Cukai Terkait Kenaikan Cukai Hasil Tembakau Tahun Depan

Tingginya konsumsi rokok di Indonesia juga menyumbang kesenjangan ekonomi di masyarakat. Selain tentunya pengaruhnya pada kesehatan masyarakat baik si perokok aktif hingga perokok pasif.

"Anak jalanan itu mulai berpikir untuk berhenti ketika rokok itu naik 5 kali lipat dari harga sebelumnya, ini memang sudah sejalan dengan studi PJKS tahun 2018 yang menyebutkan bahwa 74% perokok itu akan berhenti membeli rokok apabila rokok itu dinaikkan menjadi Rp 70.000 per bungkus," kata Risky dalam Webinar PJKS-UI, Kamis (15/9).

Mengenai dorongan menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Atong Soekirman menjelaskan pihaknya menginginkan hal serupa.

Namun, Atong menjelaskan apabila cukai rokok dinaikkan setinggi langit maka akan menjadi potensi munculnya banyak rokok yang tak membayar cukai atau ilegal.

"Kami pun inginnya menaikkan cukai setinggi-tingginya pasti. Namun, kalau terlalu tinggi maka akan memunculkan rokok ilegal. Rokok yang tanpa bayar cukai dan pasti lebih murah," jelasnya.

Artinya, rokok ilegal tentu akan jadi pilihan bagi perokok jika salah satu harga produk tembakau ini dinaikkan setinggi-tingginya. Maka dalam upaya menurunkan tingkat prevalensi merokok pada anak dan remaja yaitu usia 10-18 tahun, diperlukan kebijakan yang seimbang.

Menurutnya, jika bicara mengenai industri hasil tembakau di Indonesia ada beberapa kepentingan dari Kementerian/Lembaga yang diakomodir oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pertama di sisi industri, ada sekitar 500-700 unit industri hasil tembakau yang produknya diatur.

Kemudian 10% dari APBN Indonesia atau sebesar Rp 210 triliun lebih ini masih bersandarkan pada industri hasil tembakau. Selain itu, ada sekitar jutaan tenaga kerja bergantung pada industri ini. Maka, industri hasil tembakau juga mampu menyerap tenaga kerja.

Baca Juga: Industri Rokok Pesimis Target Cukai Tahun 2023 Bisa Tercapai

Di sisi lain hasil produk tembakau juga berdampak pada sektor kesehatan, dimana pada Kementerian Kesehatan sendiri memiliki target untuk menurunkan angka prevalensi perokok terutama pada usia anak dan remaja. Tak lupa rokok juga berdampak pada kesehatan dengan menimbulkan potensi penyakit tidak menular.

Atas berbagai pandangan baik dari sisi ekonomi, ketenagakerjaan, industri dan kesehatan tersebut maka Atong menegaskan pihaknya harus dapat membuat kebijakan yang seimbang dengan mengakomodir berbagai kepentingan Kementerian/Lembaga.

"Kami mencoba untuk mencari titik keseimbangan kebijakan karena di samping kita mengakomodir isu kesehatan dalam rangka penurunan prevalensi rokok anak ini juga kami mempertimbangkan kepentingan Kementerian dan Lembaga yang ada di Indonesia. Harus mampu jadi jalan tengah bagi kepentingan-kepentingan yang ada," jelasnya.

Oleh sebab itu, atas saran Presiden Joko Widodo, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian saat ini sedang menyusun roadmap produk hasil tembakau. Atong menyebut pihaknya bersama dengan Kementerian/Lembaga sedang membahas lebih detil mengenai peta jalan tersebut.

"Intinya roadmap produk hasil tembakau ini melibatkan seluruh Kementerian lembaga baik dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Keuangan," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi