Pemerintah tak punya solusi cepat krisis pangan



JAKARTA. Pemerintah tampak galau menghadapi lonjakan harga pangan yang bertubi-tubi sejak awal tahun ini. Mulai dari lonjakan harga daging sapi, daging ayam, kedelai, jagung, bawang merah, juga bawang putih.

Selama beberapa tahun terakhir kebijakan pangan pemerintah selalu berpatokan pada stabilitas harga. Solusi yang diambil adalah mengimpor barang untuk mengguyur pasar dalam negeri agar harga barang cepat turun.

Namun, cara ini mulai tidak ampuh lagi. Penyebabnya meskipun keran impor sudah dibuka lebar-lebar, tetap saja harga bahan pangan menanjak tinggi. Padahal tidak ada kenaikan harga komoditas di luar.


Kondisi ini yang membuat pemerintah pusing. Kemarin siang (13/3) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil para menteri ekonomi dan anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) untuk berupaya mencari solusi mengatasi kondisi ini. Tapi rapat kabinet ini tetap tidak membuahkan hasil kongkret.

Akhirnya Presiden memerintahkan menteri ekonomi bersama KEN merumuskan kebijakan pangan yang akan dituangkan menjadi keputusan presiden. Tim ini diberikan waktu untuk bekerja selama dua pekan ke depan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa tak menampik, kebijakan pemerintah soal pangan masih buruk.  "Saya minta Kementerian Pertanian dan Perdagangan segera memperbaiki regulasi, dan memasok bawang putih agar harganya lebih stabil," ujar Hatta.

Hatta memerintahkanKementerian Perdagangan agar tidak membatasi impor bawang. Sebab menurut dia, Petani Indonesia baru bisa menyuplai sebesar 5% dari total kebutuhan nasional.

Ketua KEN Chairul Tanjung, berpendapat Indonesia tidak punya lahan yang cukup untuk mengembangkan peternakan dan pertanian. Dari total wilayah Indonesia seluas 8 juta hektare (ha), luas tanah hanya 2 juta ha.

Nah tanah tersebut tidak cukup bila dijadikan lahan pertanian dan peternakan untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk sebanyak 250 juta yang terus bertambah. "Indonesia mesti lebih pintar, bagaimana tanah negara lain kita gunakan untuk mengembangkan pertanian dan peternakan," ujar Chairul.

Nah hasil investasi peternakan dan pertanian Indonesia di luar negeri tidak lagi dianggap impor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto