JAKARTA. Industri baja nasional kembali harus menelan pil pahit. Mereka harus gigit jari karena tak banyak kecipratan rezeki dari proyek pembangkit listrik 10.000 megawatt (MW).Soalnya, para kontraktor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam program pembangkit listrik 10.000 MW lebih senang menggunakan baja impor ketimbang baja lokal. Contohnya adalah kontraktor pembangunan PLTU Muara Karang dan PLTU Indramayu. "Mereka mengimpor bahan baku baja dari China dan Jepang," kata Sujono, Direktur Pemasaran PT Gunung Garuda, Senin (17/11).Pengusaha menyesalkan tindakan impor itu. Apalagi, produk sejenis telah diproduksi industri baja dalam negeri. Terungkapnya pemakaian produk impor dalam proyek 10.000 MW ini adalah hasil penyelidikan asosiasi industri baja dan besi Indonesia atau The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA). "Barang yang diimpor itu sudah dipabrikasi atau dibentuk polanya. Kami juga sudah bisa memproduksinya," ujar Sujono.
IISIA menemukan barang impor tersebut tersimpan di gudang 203 Tanjung Priok dan bakal datang delapan kapal lagi. Di proyek PLTU Muara Karang, kontraktor mengimpor sejumlah produk H-Beam mentah, besi siku, pelat baja, hingga besi U & P atau yang dikenal sebagai baja C-China dari produsen baja Jepang, Nippon Steel. Sementara, di proyek PLTU Indramayu, kontraktor mengimpor baja jenis H-Beam atau biasa disebut baja profil dari China. Memperparah pasar bajaPengusaha menengarai, impor baja berjalan mulus karena kontraktor memiliki hubungan khusus dengan produsen baja asal China. Sujono bilang, impor yang dilakukan sejumlah kontraktor PLTU itu bakal makin memperparah situasi pasar baja di dalam negeri. Saat ini, industri baja nasional sedang kesulitan menghadapi krisis harga. Selain itu, permintaan baja juga tengah melesu. Tak heran bila mereka mempertanyakan kesungguhan pemerintah mendorong proyek nasional menggunakan produk lokal sehingga mendukung pertumbuhan industri di dalam negeri. Meski begitu, tampaknya pemerintah masih menanggapi santai keluhan pengusaha baja itu. Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian (Depperin) Ansari Bukhari bilang, pada prinsipnya, pemerintah tidak melarang impor baja. "Tapi kalau terjadi lonjakan impor, kami akan mengatur tata niaganya. Sekarang, kami sedang membahas rencana penerapan tata niaga ini," ujar Ansari. 10.000 megawatt (MW). Soalnya, para kontraktor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam program pembangkit listrik 10.000 MW lebih senang menggunakan baja impor ketimbang baja lokal. Contohnya adalah kontraktor pembangunan PLTU Muara Karang dan PLTU Indramayu. "Mereka mengimpor bahan baku baja dari China dan Jepang," kata Sujono, Direktur Pemasaran PT Gunung Garuda, Senin (17/11). Pengusaha menyesalkan tindakan impor itu. Apalagi, produk sejenis telah diproduksi industri baja dalam negeri. Terungkapnya pemakaian produk impor dalam proyek 10.000 MW ini adalah hasil penyelidikan asosiasi industri baja dan besi Indonesia atau The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA). "Barang yang diimpor itu sudah dipabrikasi atau dibentuk polanya. Kami juga sudah bisa memproduksinya," ujar Sujono. IISIA menemukan barang impor tersebut tersimpan di gudang 203 Tanjung Priok dan bakal datang delapan kapal lagi. Di proyek PLTU Muara Karang, kontraktor mengimpor sejumlah produk H-Beam mentah, besi siku, pelat baja, hingga besi U & P atau yang dikenal sebagai baja C-China dari produsen baja Jepang, Nippon Steel. Sementara, di proyek PLTU Indramayu, kontraktor mengimpor baja jenis H-Beam atau biasa disebut baja profil dari China. Memperparah pasar baja Pengusaha menengarai, impor baja berjalan mulus karena kontraktor memiliki hubungan khusus dengan produsen baja asal China. Sujono bilang, impor yang dilakukan sejumlah kontraktor PLTU itu bakal makin memperparah situasi pasar baja di dalam negeri.
Saat ini, industri baja nasional sedang kesulitan menghadapi krisis harga. Selain itu, permintaan baja juga tengah melesu. Tak heran bila mereka mempertanyakan kesungguhan pemerintah mendorong proyek nasional menggunakan produk lokal sehingga mendukung pertumbuhan industri di dalam negeri. Meski begitu, tampaknya pemerintah masih menanggapi santai keluhan pengusaha baja itu. Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian (Depperin) Ansari Bukhari bilang, pada prinsipnya, pemerintah tidak melarang impor baja. "Tapi kalau terjadi lonjakan impor, kami akan mengatur tata niaganya. Sekarang, kami sedang membahas rencana penerapan tata niaga ini," ujar Ansari. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie