KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah menargetkan rasio perpajakan atau tax ratio Indonesia dalam kisaran 18% hingga 20% Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2045. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045. Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy mengatakan bahwa peningkatan tax ratio perlu diteruskan untuk menjaga stabilitas ekonomi makro. Oleh karena itu, perlu adanya dorongan yang signifikan, baik dari aspek kebijakan maupun administrasi.
"Untuk menjaga stabilitas ekonomi makro, rasio penerimaan perpajakan Indonesia diharapkan dapat mencapai target tax ratio 2045 sebesar 18% hingga 20% terhadap PDB," ujar Rachmat dalam acara Sosialisasi UU 59 Tahun 2024, Selasa (19/11). Dalam paparannya, pada tahun 2025 tax ratio Indonesia diharapkan bisa mencapai 10% hingga 12% PDB. Sementara pada tahun 2029 diharapkan berada pada kisaran 12% hingga 14% PDB.
Baca Juga: DPR dan Pemerintah Mulai Bahas RUU Tax Amnesty Pada Tahun 2025 Sebelumnya,
Founder DDTC Darussalam mengatakan saat ini sistem perpajakan di Indonesia menghadapi dua permasalahan yang perlu segera diatasi.
Pertama, rendahnya tax ratio atau rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Masalah ini sudah menjadi isu bertahun-tahun tanpa ada peningkatan signifikan, dengan kisaran tax ratio di angka 9% hingga 12% selama lebih dari satu dekade. Angka ini jelas di bawah rata-rata negara-negara ASEAN maupun negara anggota OECD. Padahal, IMF menyarankan setidaknya membutuhkan tax ratio 15% untuk dapat menopang pembangunan negara. "Sejak tahun 2010, kisaran tax ratio kita hanya berkutat di 9% hingga 12%," ujar Darussalam dalam acara Arah Kebijakan Perpajakan di Era Pemerintahan Kabinet Merah Putih, Selasa (12/11). Masalah
kedua yang disorot adalah rendahnya nilai tax bouyancy Indonesia yang hanya sebesar 0,88% dalam kurun waktu 2010 hingga 2019. Rendahnya angka tersebut menandakan bahwa Indonesia tidak mampu mengoptimalkan potensi pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Darussalam mencontohkan, sektor pertanian merupakan contoh konkret di mana sektor tersebut berkontribusi 13,02% terhadap PDB, namun sumbangan pajaknya di bawah 3%. Kondisi tersebut menunjukkan ketidakseimbangan dan perlunya reformasi struktural dalam penerimaan pajak. "Setiap tahun kalau saya diundang sebagai ahli di Banggar DPR, mereka selalu bertanya, kenapa terjadi kejomplangan tax ratio kita? Saya hanya bilang, berani gak kita mengubah struktur penerimaan pajak? Berani enggak kita mengejar yang selama ini sektor-sektor yang memberikan kontribusi tinggi pada PDB, tapi kontribusinya rendah kepada penerimaan pajak, itu kita rubah," katanya.
Baca Juga: Konsultan Pajak Akui Tax Amnesty Jilid III Gerus Kepatuhan Wajib Pajak Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati