KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan seriusnya dampak perang dagang terhadap situasi perekonomian global, termasuk Indonesia. Risiko perang dagang bahkan menjadi salah satu pembahasan utama dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral serta Deputi Keuangan dan Bank Sentral negara-negara G20 di Fukuoka, Jepang pada 6-9 Juni 2019 lalu. Hal ini menanggapi tudingan anggota DPR fraksi Partai Gerindra Bambang Haryo dalam Rapat Paripurna, Selasa (11/6), bahwa Sri Mulyani dan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution berbohong lantaran menyatakan perang dagang AS-China sebagai penyebab menurunnya kinerja ekonomi Indonesia. Menurut Bambang, faktanya negara lain seperti Vietnam, Kamboja, dan Malaysia justru bisa meraih untung dengan berpindahnya pabrik-pabrik produksi dari China ke negara-negara tersebut.
“Pemerintah harusnya bisa memanfaatkan ini. Kalau dilihat kan Vietnam saja kuartal I-2019 industrinya meningkat. Jadi apa yang dikatakan Menkeu itu adalah tidak benar, ini pembohongan terhadap masyarakat, ini hoaks,” tandas Bambang. Sri Mulyani pun menangkis tudingan tersebut dan menjelaskan, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang bergulir sejak tahun lalu menjadi faktor utama berbagai institusi internasional mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini. Antara lain IMF yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,3%, sedangkan Bank Dunia mengoreksi turun menjadi 2,6%. Tak hanya itu, pertumbuhan perdagangan global juga diprediksi tertekan. Kedua risiko ini tentu berdampak pada kondisi perekonomian berbagai negara, termasuk Indonesia. “Perekonomian kita terbawa dengan pelemahan ekonomi global yang salah satunya disumbangkan oleh tekanan ekonomi China. Maka permintaan barang-barang komoditas kita menurun dan itu yang menjelaskan kenapa ekspor kita terkontraksi,” terang Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Pembahasan Pembicaraan Pendahuluan Rancangan APBN Tahun 2020 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2020 di Badan Anggaran DPR, Selasa (11/6). Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut juga menjelaskan, apa yang selama ini disampaikan terkait kondisi perekonomian global dan domestik adalah fakta. Namun jika bicara mengenai apa yang seharusnya dilakukan atau pernyataan preskripsi, tentu saja Sri Mulyani akan mengatakan bahwa Indonesia mampu memanfaatkan kesempatan dari berlangsungnya perang dagang. “Tapi faktanya, hari ini Indonesia terkena dampak negatif. Saya menyampaikan
statement dari fakta,” ujar Sri Mulyani. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro pun angkat bicara. Ia mencontohkan bukti nyata dampak buruk perang dagang yang memukul kinerja ekspor China ke AS hingga turun 13% di kuartal pertama lalu. Adapun negara yang mengalami keuntungan seperti Vietnam dan Meksiko, memiliki kondisinya masing-masing yang berbeda dari Indonesia. Meksiko, terang Menteri Bambang, memiliki faktor jarak geografis yang dekat dengan AS sehingga lebih mudah melakukan hubungan dagang. Meski sebagian NAFTA dinonaktifkan oleh AS, Meksiko juga masih memiliki hubungan dagang bilateral yang baik dengan AS. Sementara Vietnam, lanjutnya, berada dalam kondisi yang gencar mengembangkan sektor manufakturnya. Produk-produk manufaktur China yang selama ini diekspor ke AS dapat dengan mudahnya digantikan oleh Vietnam yang ekspor barangnya didominasi oleh produk manufaktur. “Sementara Indonesia komoditas utama ekspornya masih komoditas, terutama minyak. Vietnam bisa dengan mudah menggantikan China karena ekspor produknya memang lebih banyak manufaktur ke AS,” ujar Menteri Bambang. Belum lagi, Vietnam bukan termasuk dalam daftar negara yang mengalami surplus dagang dengan AS sehingga tidak berada dalam pantauan dagang
(trade-watch list) pemerintah AS. Hal ini membuat fasilitas kemudahan perdagangan yaitu Generalized System of Preferences (GSP) Vietnam juga dipastikan tetap langgeng, sedangkan fasilitas GSP Indonesia saat ini sedang ditinjau ulang
(under review). Dari sisi keuangan, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menambahkan, perang dagang turut meningkatkan risiko berinvestasi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Ini terlihat dari menurunnya nilai investasi portofolio di pasar domestik. “Triwulan IV-2018 investasi portofolio yang masuk ke Indonesia mencapai US$ 10,5 miliar. Kuartal I-2019 ini investasi portofolio turun menjadi US$ 5,4 miliar karena dampak dari perang dagang,” tutur Perry.
Namun, bukan berarti tak ada peluang perbaikan. Jika perang dagang berimbas pada melemahnya ekonomi AS, kemungkinan besar Bank Sentral AS batal menaikkan suku bunga acuannya bahkan berpotensi menurunkan. Dengan suku bunga lebih rendah di AS, maka peluang arus modal kembali ke Indonesia meningkat seiring dengan tingkat imbal hasil yang lebih baik dan premi risiko yang terjaga. Perry mengatakan, peluang positif untuk menerima relokasi industri dari China alias penanaman modal asing (PMA) baru juga terbuka untuk negara di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. “Oleh karena itu, kebijakan saat ini bicara bagaimana meningkatkan daya saing, industri manufaktur, inovasi, dan sebagainya. Itu semua juga dalam rangka meningkatkan peluang penanaman modal asing tadi,” pungkas Perry. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati