Pemerintah tegaskan sikap di hadapan Freeport



JAKARTA. Pemerintah memberi isyarat bertahan di jalur negosiasi yang sudah dibicarakan dengan PT Freeport Indonesia. Lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah juga mengizinkan andai Freeport akan membawa hasil kemajuan pembicaraan dan negosiasi ke badan arbitrase internasional.

Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan, pemerintah mendukung semua investasi di Indonesia baik dari dalam maupun dari asing. Namun, dalam hal pertambangan mineral logam, pemerintah tetap berpegang pada UU Mineral dan Batubara No 4/2009 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 sebagai revisi dan tindak lanjut semua peraturan yang telah terbit sebelumnya.

"Dengan mengacu dan berpegang pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, pemerintah tetap menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Dan masih sah berlaku," ungkap Jonan dalam keterangan tertulisnya kepada KONTAN, Sabtu (18/2).


Sekadar mengingatkan, pemerintah telah memberikan izin rekomendasi konsentrat tembaga pada Freeport. Izin rekomendasi ini diberikan lantaran Freeport sudah mengantongi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Konsekuensinya, sesuai Pasal 102-103 UU No 4/2009, Freeport harus membangun pemurnian konsentrat (smelter) dalam lima tahun ke depan, terhitung sejak PP No 1/2017 diterbitkan. 

Progres pembangunan smelter akan diverifkasi oleh verifikator independen setiap 6 bulan. Jika progres tidak mencapai minimal 90% dari rencana maka rekomendasi ekspor akan dicabut.

Nah, kabarnya, Freeport yang per hari ini ditinggal Presiden Direkturnya Chappy Hakim, masih belum sepakat dengan status IUPK karena menginginkan beberapa haknya seperti menjadi Kontrak Karya (KK) terdahulu, yaitu status pajak lama bersifat nail down serta kepastian perpanjangan operasi sampai tahun 2041. 

"Saya berharap, kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjakan izin, yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta BKPM," ujar Jonan.

Arbitrase

Jonan juga berharap PTFI tidak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51% saham yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya yang pertama antara PTFI dan Pemerintah Indonesia, dan juga tercantum dengan tegas dalam PP No 1/2017.

"Memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30% karena alasan pertambangan bawah tanah. Namun divestasi 51% adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh bapak presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan pemerintah, sehingga rakyat Indonesia dan khususnya Papua bisa menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia," kata Jonan.

Sejak tahun lalu beredar kabar, Freeport bakal membawa pembicaraan ke jalur hukum (arbitrase) jika berbagai negosiasi buntu. Nego tersebut antara lain terkait divestasi, ekspor mineral, dan perpanjangan kontrak. 

Menurut Jonan, langkah hukum merupakan hak siapa pun. Namun, pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum lantaran apa pun hasilnya, akan membawa dampak kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.

"Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan pemerintah. Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata," imbuh Jonan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia