Jakarta. Jika mengacu slogan “Orang Bijak Taat Pajak” yang didengungkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sejak tahun 1990-an silam, bisa disimpulkan, banyak orang Indonesia bukanlah orang bijak. Sebab masih banyak orang yang belum taat membayar pajak. Tingkat kepatuhan wajib pajak yang rendah memang bukan barang baru. Itu sebabnya, Ditjen Pajak tak kenal lelah menyadarkan masyarakat agar patuh membayar pajak. Ditjen Pajak juga tampak kreatif meluncurkan pelbagai slogan baru demi mendorong orang patuh membayar pajak. Anda tentu tidak asing dengan berbagai slogan Ditjen Pajak, seperti: Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya; Pajak Menyatukan Hati, Membangun Negeri, serta Bangga Bayar Pajak. Bermacam slogan Ditjen Pajak tampaknya tak cukup berhasil meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Memang slogan cantik saja tidak cukup membikin masyarakat taat membayar pajak. Tengok saja, tahun 2012 jumlah wajib pajak (WP) sebanyak 24,8 juta.
Hingga April 2014, jumlah wajib pajak terdaftar cuma bertambah menjadi 27,95 juta. Padahal, Direktur Jenderal Pajak FuadRahmany, bilang, jumlah pembayar pajak potensial sejatinya mencapai 60 juta orang, baik WP badan maupun WP orang pribadi. “Hanya 10% dari jumlah penduduk yang punya kesadaran membayar pajak. Yang lainnya harus dikejar-kejar,” kata dia. Nah, masyarakat yang selama ini termasuk ke dalam golongan belum punya kesadaran harus siap-siap diburu aparat pajak. Sebab, Ditjen Pajak sudah menyiapkan beragam strategi untuk menambah jumlah basis pajak, demi mendongkrak jumlah penerimaan pajak. Fuad mengatakan, pegawai pajak akan bekerja keras mencari WP baru yang selama ini belum pernah membayar pajak. Aparat pajak tampaknya bakal makin galak memburu WP yang tak patuh menunaikan kewajibannya. Anda yang memiliki penghasilan besar alias orang-orang yang masuk golongan kaya, kelihatannya bakal kesulitan berkelit dari kewajiban membayar pajak. Soalnya, Fuad menegaskan, salah satu target Ditjen Pajak saat ini adalah orang kaya yang mengemplang pajak, belum membayar pajak, atau sudah membayar pajak tapi tidak sesuai penghasilannya. Integrasi data Cuma masalahnya, Ditjen Pajak tidak punya data konkret terkait penghasilan orang-orang berduit tersebut. Karena itulah, salah satu strategi Kantor Pajak adalah menjalin kerjasama dengan berbagai instansi, seperti Kepolisian, Kejaksaan, pemerintah daerah, maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kongsi ini demi memperoleh data-data yang akurat. Data dari berbagai instansi tersebut akan dicocokkan dengan laporan pembayaran pajak alias surat pemberitahuan (SPT). Tidak cuma kerjasama, Ditjen Pajak akan membangun sistem online bersama Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) di daerah. Dengan sistem online ini, Ditjen Pajak bisa mengakses data pemilik kendaraan bermotor khususnya mobil mewah. Berbekal data tersebut, lembaga pemungut pajak akan mencocokkannya dengan SPT si pemilik kendaraan. Dengan cara ini, pemilik kendaraan akan ketahuan jika selama ini mereka tidak pernah menyetorkan pajak meski sejatinya mampu membayar. Sistem online juga akan dibangun bersama Dinas Pajak Daerah maupun Dinas Pendapatan daerah (Dispenda). Melalui sistem ini, Ditjen Pajak bisa mengakses data setoran pajak dari pelaku usaha di bidang perhotelan, restoran, maupun tempat hiburan. Sebab, Dispenda lah yang berwenang memungut pajak hotel, pajak restoran, maupun pajak hiburan. Melalui kerjasama tersebut, Ditjen Pajak juga bisa mengetahui data pemilik hotel, restoran, dan tempat hiburan. Tidak cuma itu, Ditjen Pajak sekaligus juga bisa mengetahui berapa penghasilan pemilik dari usaha hotel, restoran, ataupun tempat hiburan milik mereka. Artinya, pengusaha di bidang hotel, restoran, ataupun tempat hiburan kelak tak lagi bisa mengemplang pajak penghasilan. Perburuan tidak berhenti sampai di situ. Masyarakat yang selama ini menjadi pengemplang pajak juga akan ketahuan saat melakukan transaksi jual-beli tanah. Melalui kerjasama dengan BPN, Ditjen Pajak bisa membedah data para pembeli tanah dan bangunan. Maklum, setelah membeli tanah, pembeli harus mengurus sertifikat ke BPN. Dengan begitu, “Kami bisa mengetahui data dan mengejar pajaknya,” kata Fuad. Pemerintahan baru juga sudah bersiap melakukan perburuan. Lewat integrasi data, pengemplang pajak memang akan sulit untuk berkelit dari kewajiban membayar pajak. Itu sebabnya, Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) akan melakukan integrasi dan rekonsiliasi data antara data pajak dengan berbagai data lainnya. “Sistem integrasi data ini berlaku secara online,” kata Arif Budimanta, Tim Ekonomi Jokowi. Menurut Arif, untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, Pemerintahan Jokowi bakal membentuk sistem perpajakan yang diintegrasikan dengan sistem administrasi kependudukan melalui single identitity number (SIN). Dengan sistem tersebut, setiap nomor induk penduduk akan langsung terintegrasi dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Program SIN sejatinya bukan barang baru lantaran sudah direncanakan sejak tahun 2010 lalu. Cuma, Fuad menjelaskan, integrasi antara kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dengan NPWP belum berjalan karena masih ada warga yang belum mendapat e-KTP. Pengemplang pajak saat ini boleh saja bernafas lega. Namun, jika Pemerintahan Jokowi benar-benar akan merealisasikan programnya pada tahun depan, masyarakat harus siap diburu aparat pajak. Sebab, integrasi tersebut akan memudahkan Ditjen Pajak mengawasi kepatuhan wajib pajak. Arif menambahkan, Jokowi juga bakal menerapkan electronic tax invoice alias faktur pejak eletronik (e-Faktur) guna menghindari faktur fiktif. Cuma lagi-lagi, program faktur elektronik bukan barang baru. Sebab, Ditjen Pajak sudah menerapkan e-Faktur sejak pertengahan tahun ini. Cuma, Fuad menuturkan, memang baru sedikit pengusaha kena pajak (PKP) yang menggunakan e-Faktur. Tapi, Ditjen Pajak menargetkan, tiga tahun lagi seluruh PKP memakai e-Faktur. Itu berarti, pengusaha tidak lagi bisa punya celah untuk menerbitkan faktur abal-abal. Pengusaha di sektor-sektor yang selama ini tidak terjamah aparat pajak juga boleh merasa was-was. Selama ini, Ditjen Pajak memang lebih fokus mengejar WP besar di sektor-sektor tradable, seperti pertambangan ataupun perkebunan. Cuma, lantaran harga dan ekspor komoditas menurun, perolehan pajak dari sektor tradable otomatis ikut anjlok. Oleh sebab itu, Ditjen Pajak akan lebih serius memburu pengusaha di sektor nontradable. Aparat lebih banyak Nah, pelaku usaha di sektor perdagangan, manufaktur, properti, maupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mesti siap menjadi sasaran baru aparat pajak. Fuad mengatakan, meski ukuran perusahaan tidak besar, jumlah perusahaan di sektor nontradable dan UMKM sangat banyak. Alhasil, perolehan pajak dari sektor nontradable dan UMKM juga besar. Sektor nontradable dan UMKM selama ini memang belum banyak disentuh Ditjen Pajak. Kantor Pajak merasa kesulitan mengejar pelaku usaha di sektor nontradable dan UMKM lantaran mereka sering berpindah tempat. Selain itu, jumlah pegawai pajak juga kurang untuk mengawasi kepatuhan para wajib pajak di sektor nontradable dan sektor UMKM yang jumlahnya sangat banyak. Tapi, jangan bernafas lega dulu. Soalnya, tahun ini Ditjen Pajak sudah memperoleh pasokan pegawai baru sebanyak 2.500 orang yang sudah direkrut tahun lalu. Tahun ini juga, Kementerian Keuangan tengah memproses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) sebanyak 5.500 formasi yang dialokasikan untuk Ditjen Pajak. Jadi, jumlah aparat pajak yang akan mengawasi pengusaha bakal lebih banyak. Pengusaha di sektor pertambangan dan perkebunan bukan juga boleh lega lantaran sudah tak lagi menjadi fokus perhatian Ditjen Pajak. Sebab, pemerintahan Jokowi masih menjadikan WP besar di sektor pertambangan dan perkebunan sebagi tulang punggung penerimaan pajak. Arif mengatakan, pemerintah baru akan meminta Ditjen Pajak melakukan reprofiling data wajib pajak. Maksudnya, aparat pajak akan melakukan pemeriksaan dan audit perusahaan serta mencocokkannya dengan pembayaran pajak mereka. Setiap kantor pelayanan pajak (KPP) wajib secara berkala melakukan reprofiling terhadap 200 WP dengan setoran terbesar. “Reprofiling ini secara khusus untuk industri ekstraktif seperti pertambangan, migas, dan perkebunan,” tukas Arif. Untungnya, baik Ditjen Pajak maupun Pemerintahan Jokowi belum berencana menaikkan tarif pajak ataupun menetapkan objek pajak baru. Fuad beralasan, kenaikan tarif pajak justru akan memancing wajib pajak semakin berkelit dari kewajiban membayar pajak. Toh, “Buat apa dinaikkan kalau kita belum punya data,” kata Fuad.
Arif menambahkan, Pemerintahan Jokowi juga lebih memilih menyempurnakan tarif berbasis insentif dan disinsentif ketimbang mengerek tarif pajak. Contoh, perusahaan padat karya bisa memperoleh insentif pajak. Sebab, penyerapan tenaga kerja selain akan meningkatkan perolehan pajak juga menggerakkan perekonomian. Sementara perusahaan yang mencemari lingkungan, misalnya, bisa kena disinsentif berupa tarif pajak lebih tinggi. Jika semua strategi berjalan sesuai rencana dan tak ada lagi aparat pajak nakal, para pengemplang pajak wajib waspada dan belajar menjadi bijak. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 03 - XIX, 2014 Laporan Utama Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Imanuel Alexander