Pemetaan mitigasi bencana perlu untuk kurangi kerugian industri dan pelaku usaha



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Disaster Management Institute of Indonesia (DMII) dan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menggelar acara Disaster Outlook 2019 guna memetakan mitigasi bencana di tahun 2019 untuk mengurangi dampak bencana di dunia industri. 

Direktur ACT, Ahyudin menyebutkan bahwa outlook ini dilakukan untuk untuk memitigasi dunia industri dan pelaku usaha dalam menghadapi potensi bencana di tahun 2019. Adapun potensi bencana yang akan terjadi di 2019 ini tidak lepas dari banjir, kebakaran, gunung meletus, gempa bumi dan tsunami.

“Dibalik potensi ada ancama yang menghadang kita. Kita berada di cincin api dan diantara pertemuan lempeng. Secara umum masyarakat belum terlalu siap menghadapi bencana. Demikina juga dengan pihak swasta yang mengolah sumber daya agar kemudian mitigasi bisa dilakukan bersama,” kata Ahyudin, Kamis (31/1).


Ia melanjutkan bahwa munculnya kawasan industri yang berada di dekat kawasan-kawasan berpotensi bencana semakin memperkeruh masalah mitigasi bencana. Dalam industri yang dibangun ada limbah kimia ataupun produk kimia berbahaya. Inilah yang menjadi perhatian ACT dalam memitigasi.

“Kita paham industri kita mnghasilkan limbah bahkan di selat sunda ada beberapa pabrik kimia dimana kawasan tersebut berpotensi tsunami. Ketika terjadi tsunami ini akan berbahaya jika tidak ada pengamanan yang cukup,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, Ahyudin menghimbau adanya koordinasi dan kerjasama antara pemerintah BNPB, BMKG dan Swasta dalam menetapkan continuity plan dimana ketika terjadi bencana, maka inustri dalam keadaan aman dan ekonomi masyarakat bisa pulih kembali.

Adapun continuity paln di sisi sekolah, dimana sebelumnya ACT sudah melakukan pelatihan kepada 20 sekolah di Jakarta untuk siaga dalam menghadapi bencana. Selain itu, kelompok siaga bencana berbasis desa juga dibentuk dimana sudah disiapkan regu yang nantinya akan turun ketika ada bencana.

Daryono selaku Kepala Bidang Informasi Gempa bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, menyebut bahwa masalah bencana sudah ada sejak lama. Hanya saja semakin kesini maka hal yang menjadi perhatian adalah lebih pada ketahanan bangunan terhadap bencana.

Ia menyebutkan bahwa di Indonesia masih kurang standar pembangunan yang tahan gempa sehingga ketika ketika gempa muncul kebanyakan masyarakat menjadi korban dari bangunan tersebut.

“Kalau di Indonesia tidak ada kebijakan yang tegas maka sampai kapanpun gempa akan membunuh. Padahal gempa itu sebenarnya tidak pernah membunuh. Tapi yang membunuh itu bangunannya. Kalau disini bangunan tidak ada pengawasan. Idealnya harus membangun bangunan tahan gempa,” tegasnya.

Ia menyebutkan bahwa seorang pengusaha haruslah memperhatikan tempat usaha yang tahan terhadap gempa. Hal ini guna mengurangi potensi kerugian usaha yang timbul usai mengalami bencana.

“Pastikan kalau kita memiliki usaha, tempat usahanya harus tahan gempa. Harus di desain dengan maksimum supaya usaha kita aman, bukannya saat gempa semua lumpuh seperti bandara,” jelasnya.

Direktur Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa ada triliunan kerugian yang daikibatkan oleh bencana. Dengan adanya mitigasi dalam sektor pembangunan kawasan Industri ini dapat menekan angka kerugian di sektor tersebut.

“Kerugian ini tidak miliaan tapi triliunan. Pembangunan kawasan industri perlu perncanaan dengan mengikuti tahapan pembangunan industri yang harus dikawal dari persiapa hingga pambangunan. Dari mulai perencanaan. Bandingkan dengan Jepang yang sama-sama memiliki kawasan industri dan potensi bencana,” jelasnya.

Ia berharap keedpannya ada reguasi yang mengatur terkait pembangunan di kawasan industri dengan bangunan yang tahan gempa. Hal ini perlu ditekankan kepada industri-industri yang sensitive terhadap dampak gempa seperti industri elektronika, cairan kimia dan material berbahaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .