KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden Amerika Serikat (AS) yang akan dilaksanakan pada Rabu, 5 November mendatang tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat AS, tetapi juga bagi perekonomian global, termasuk pasar modal di Indonesia. Sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia, kebijakan dari pemimpin terpilih AS berpotensi besar mempengaruhi pasar modal melalui perubahan kebijakan ekonomi dan bisnis yang berkaitan dengan pajak, tarif dagang, dan suku bunga.
Ketidakpastian Menjelang Pemilu dan Volatilitas Pasar Modal
Chief Investment Officer PT Inovasi Finansial Teknologi (Makmur), Stefanus Dennis Winarto, mengungkapkan bahwa pemilu di AS seringkali menyebabkan volatilitas pasar modal yang signifikan, terutama karena ketidakpastian yang muncul seputar kebijakan ekonomi dari masing-masing kandidat.
Baca Juga: Reksadana Pasar Uang Pimpin Penguatan Sepekan, Ini 5 Terbaiknya! Investor cenderung mengantisipasi perubahan kebijakan yang bisa berdampak pada sektor bisnis, perpajakan, hingga inflasi. Hal ini membuat banyak investor mengatur ulang portofolio mereka atau melakukan aksi jual untuk menghindari risiko yang mungkin timbul dari kebijakan presiden yang baru. “Kebijakan calon presiden terkait tarif dagang dan inflasi, misalnya, sangat ditunggu pasar. Tarif dagang terhadap produk impor dari China ke AS berpotensi mengalami kenaikan signifikan, yang bisa memicu inflasi di AS dan semakin menyulitkan The Fed untuk menurunkan suku bunga,” jelas Stefanus dalam siaran persnya, Kamis (31/10).
Dampak Jangka Panjang terhadap Kebijakan Ekonomi dan Hubungan Internasional
Seiring dengan terpilihnya presiden baru, AS berpotensi menerapkan kebijakan ekonomi jangka panjang yang berdampak pada hubungan dagang internasional, termasuk dengan China. Contoh nyata adalah kebijakan perang dagang AS-China yang dimulai pada 2019 oleh Presiden Donald Trump. Konflik ekonomi antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini memunculkan ketidakpastian pasar global, yang pada akhirnya menyebabkan tekanan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia. Ketidakpastian tersebut membuat banyak investor mengalihkan investasi mereka dari pasar negara berkembang ke aset yang dianggap lebih aman, seperti obligasi pemerintah AS. Akibatnya, IHSG sempat mengalami penurunan karena aksi jual bersih (
net sell) dari investor asing, terutama pada saham-saham dengan kapitalisasi besar yang berdampak langsung pada pergerakan IHSG.
Baca Juga: Return Reksadana Saham Diproyeksi Bisa Membaik Diversifikasi Investasi: Strategi Menghadapi Gejolak Ekonomi Global
Stefanus menekankan pentingnya diversifikasi investasi di tengah kondisi pasar yang bergejolak. Ia mengingatkan bahwa tidak hanya AS dan Indonesia yang sedang menghadapi pemilu, tetapi juga sekitar 50 negara lainnya. Hal ini menunjukkan pentingnya investor untuk bijak dalam memilih instrumen investasi yang tepat dan cenderung stabil, terutama pada instrumen dengan volatilitas rendah yang bisa mengurangi risiko kerugian di tengah situasi ketidakpastian global. Stefanus mengungkapkan investor harus cermat memperhatikan perkembangan kebijakan global dan memastikan portofolio mereka memiliki diversifikasi yang memadai untuk menghadapi gejolak ekonomi yang dipicu oleh perubahan geopolitik dan pergantian pemimpin di berbagai negara.
Baca Juga: Ketidakpastian Pemangkasan Bunga The Fed Berpengaruh ke Prospek Reksadana Offshore Reksa Dana Pasar Uang
Salah satu instrumen yang dianggap lebih aman adalah reksa dana pasar uang. Reksa dana ini mengalokasikan 100% portofolionya pada instrumen pasar uang yang memiliki jatuh tempo kurang dari satu tahun, seperti deposito, Sertifikat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Dibandingkan instrumen lain, reksa dana pasar uang memiliki risiko yang lebih rendah dan performanya cenderung stabil ketika pasar sedang bergejolak. Selain itu, instrumen berjangka pendek memiliki risiko gagal bayar yang relatif kecil.
Reksa Dana Pendapatan Tetap
Selain reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap juga menjadi pilihan yang menguntungkan, terutama dengan adanya potensi penurunan suku bunga acuan. Reksa dana ini mayoritas portofolionya berisi obligasi atau sukuk. Ketika suku bunga turun, harga obligasi naik, sehingga instrumen ini berpotensi memberikan
return lebih tinggi dibandingkan deposito. Era suku bunga rendah dapat meningkatkan daya tarik reksa dana pendapatan tetap sebagai alternatif investasi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .