KONTAN.CO.ID - SINTRA. Para pemimpin bank-bank sentral terkemuka di dunia mengingatkan bahwa meningkatnya konflik perdagangan dapat melukai ekonomi dunia dan berpotensi memperpanjang era tingkat bunga super rendah. Mengutip Wall Street Journal, Rabu (20/6), meningkatnya ketegangan atas perdagangan ini datang pada waktu yang canggung bagi bank-bank sentral utama, yang telah mulai bergerak menjauh dari kebijakan easy-money, kebijakan yang diterapkan sejak krisis keuangan global 2008. Dalam diskusi moderat di Portugal, kepala The Federal Reserve, European Central Bank, Bank of Japan dan Reserve Bank of Australia menyerukan agar pasar tetap tenang dan mengingatkan bahwa biaya eskalasi lebih lanjut bisa tinggi.
Pasar saham global merosot minggu ini setelah Presiden AS Donald Trump menyerukan tarif pada barang-barang China senilai US$ 200 miliar, setelah sebelumnya ia menyetujui tarif pada US$ 50 miliar untuk barang China. “Sangat mengkhawatirkan dan sekali lagi, saya tidak dapat melihat hal positif,” kata Presiden ECB Mario Draghi, yang menjadi tuan rumah acara tersebut, Rabu (20/6). Draghi mengingatkan bahwa perselisihan perdagangan telah menciptakan "ketidakpastian yang cukup besar" untuk ekonomi Eropa, yang telah melambat tajam dalam beberapa bulan terakhir. Uni Eropa mengatakan akan memberlakukan tarif pada barang-barang AS senilai sekitar € 2,8 miliar atau setara dengan US$ 3,2 miliar sebagai tanggapan terhadap tarif impor Amerika pada baja dan aluminium. Namun, ekonom Oxford Economics Oliver Rakau mengungkapkan, langkah Uni Eropa ini tidak mungkin untuk mencegah AS dari putaran kedua tarif, yang kemungkinan besar ditargetkan pada otomotif Eropa, yang akan memukul ekspor senilai 0,3% dari output ekonomi Uni Eropa. Draghi sebelumnya pada Selasa (19/6) juga mengungkapkan bahwa ECB dapat menunda rencana yang diumumkan minggu lalu untuk mengakhiri program pembelian obligasi € 2,5 triliun dan menyarankan waktu kenaikan suku bunga pertama dapat didorong kembali. Jerome Powell, ketua The Federal Reserve, memperingatkan dalam diskusi tersebut bahwa perubahan dalam kebijakan perdagangan "dapat menyebabkan kita harus mempertanyakan prospek." The Fed pekan lalu menaikkan suku bunga jangka pendek dan mengisyaratkan laju kenaikan suku bunga yang lebih cepat, untuk menjaga ekonomi AS dari
overheating. Sementara ketegangan belum menekuk pertumbuhan ekonomi AS, Powell mengatakan bisnis semakin mengekspresikan kekhawatiran kepada The Fed tentang bagaimana konflik dapat mempengaruhi rencana mereka untuk investasi dan perekrutan. Gubernur Bank of Japan (BoJ) Haruhiko Kuroda juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa dampak tidak langsung terhadap ekonomi Jepang bisa cukup signifikan jika eskalasi antara China dan AS terus berlanjut. Sebab, hal tersebut dapat mempengaruhi rantai pasokan Asia yang berpusat di negara-negara seperti Jepang dan Taiwan dan negara-negara Asia Tenggara.
Masalah bagi bank-bank sentral di Jepang dan di tempat lain, adalah bahwa mereka tampaknya memiliki sedikit amunisi yang tersisa untuk menghadapi setiap kemerosotan ekonomi baru setelah bertahun-tahun stimulus agresif. Nilai aset yang dipegang oleh BoJ ditetapkan untuk melebihi
output ekonomi tahunan nasional selama beberapa bulan mendatang, sementara neraca ECB juga akan terus tumbuh hingga akhir tahun ini. Kedua bank sentral masih menahan suku bunga jangka pendek di bawah nol. Powell mengakui bahwa bank-bank sentral akan memiliki kapasitas yang lebih kecil untuk melawan resesi baru karena suku bunga sudah mendekati nol. Pemerintah AS juga memiliki sedikit ruang untuk meningkatkan pengeluaran daripada di masa lalu, meskipun masih memiliki ruang untuk bereaksi. "Saya sangat berharap eskalasi ini dapat dibatalkan dan hubungan perdagangan normal antara AS dan China akan berlaku," kata Kuroda, Rabu (20/6).
Editor: Herlina Kartika Dewi