Pemodal asing enggan berekspansi di hortikultura



JAKARTA. Keputusan judicial review atas Undang-Undang Nomer 13 tahun 2010 tentang Hortikultura di Mahkamah Konstitusi (MK) belum jelas. Kabarnya, lembaga yudikatif ini bakal mengetok keputusan di November nanti. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha hortikultura lantaran bisa menggangu iklim investasi di sektor hortikultura.

Ketua Dewan Hortikultura Nasional Benny Kusbini mengatakan, belum ada keputusan soal nasib UU tersebut membuat investasi di sektor hortikultura menjadi kurang menarik bagi pemodal asing. Sebab, belum ada kepastian hukum soal sektor ini.

Asal tahu saja, permasalah yang timbul akibat UU Hortikultura ada di pasal 100 ayat (3) yang berbunyi "Besarnya penanaman modal asing dibatasi paling banyak 30%". Pasal itu mendapat kecaman karena banyak investor asing yang memiliki saham di atas 30% pada sektor hortikultura.


Benny yang juga merupakan Direktur Utama PT Mitra Tani Agro Unggul itu melihat bahwa banyak pelaku usaha hortikultura, khususnya perusahaan asing, yang menahan diri  berekspansi. Rencana pembangunan pabrik, pembelian teknologi, serta melakukan riset baru ditunda. Padahal, di sektor hortikultura, khususnya perusahaan benih, riset menjadi komponen paling penting untuk menciptakan benih baru. 

Benih unggul dan berkualitas tinggi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, tren konsumsi nasional yang terus naik akan mendorong pemerintah mengimpor, jika produksi lokal tidak mampu mengisi. 

Sebenarnya, tren impor pertanian pada sektor hortikultura sedang turun dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2012, impor sektor hortikultura mencapai 2,13 juta ton dengan nilai US$ 1,81 miliar. Di tahun 2013, nilainya turun menjadi 1,63 juta ton dengan total nilai US$ 1,61 miliar. Nah, hingga Juni 2014, impor hortikultura mencapai 941.288 ton dengan nilai US$ 926 juta.

Benny menilai, jika MK menolak uji materi UU Hortikultura, Indonesia terancam tidak memiliki produk hortikultura unggulan plus produksi tidak mampu mencukupi kebutuhan. "Daripada susah-susah menciptakan benih baru, lebih baik impor saja buah dan sayur dari Tiongkok atau Thailand," ungkap Benny, Rabu (15/10).

Alhasil, peluang berinvestasi pada sektor pertanian hilang. Investor akan lebih memilih negara ASEAN lain yang tidak membatasi aturan kepemilikan asing, meskipun ujung-ujungnya breeder atau pembibitannya tetap berasal dari Indonesia.

Sudah unggul

Namun, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kemtan) Hasanuddin Ibrahim punya pendapat lain. Menurutnya, UU Hortikultura tidak akan mengganggu kelangsungan bisnis hortikultura tanah air. Sebab, kualitas benih Indonesia telah cukup mumpuni. 

Hal ini dibuktikan tingginya jumlah ekspor benih. "Produksi benih dalam negeri surplus. Pada tahun 2013, misalnya mencapai 252 juta ton sementara impornya 38,8 juta ton. Apalagi jumlah perusahaan benih lokal juga sekarang lebih banyak ketimbang asing," terang Hasanuddin.  

Saat ini, ada 14 perusahaan asing di sektor benih dan sayuran, serta jagung, dan 39 perusahaan benih lokal. Harus diakui, pemodal asing masih lebih kuat dalam investasi riset dan teknologi benih. Mereka memiliki sumber daya manusia yang lebih mumpuni. 

Glenn Pardede, Direktur Utama PT East West Seed Indonesia pernah mengungkap, salah satu keunggulan perusahaan benih asing adalah mereka punya dana riset dan pengembangan yang cukup besar sehingga hasil benih olahannya juga bagus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto