Pemprov Sulteng “siap tempur” untuk dapatkan tambang eks Vale



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah (Sulteng) masih berkeras untuk mendapatkan pengelolaan tambang nikel di Bahodopi Utara, Kabupaten Morowali. Tambang nikel seluas 1.896 hektare (ha) itu sebelumnya adalah wilayah pengelolaan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dengan status kontrak karya periode 1968-2015.

Pemprov berkeinginan, pengelolaan tambang tersebut berada di tangan PT Pembangunan Sulteng, prusahaan daerah (perusda) yang dikelola Pemprov Sulteng. Dalam upaya tersebut, pihak Pemprov dan Perusda Sulteng telah melakukan audiensi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignatius Jonan, pada Senin (6/8).

Kepada KONTAN, Asisten Perekonomian, Pembangunan dan Kesra Provinsi Sulawesi Tengah, Elim Somba, mengkonfirmasi hal tersebut. Elim, yang mengaku ikut hadir dalam pertemuan tersebut menyebut bahwa apa yang diinginkan Pemprov Sulteng belum dapat direspon oleh Menteri ESDM.


“Sepertinya, apa yang kita inginkan belum dapat direspon oleh Pak Menteri. Kita terus terang kecewa. Sepertinya Pak Menteri kurang mendapatkan informasi tentang pelaksanaan tender ini. Kita sudah berjuang 10 tahun untuk mendapatkan lokasi ini supaya bisa kita kelola,” ujar Elim.

Sebagai informasi, merujuk pada catatan KONTAN, Gubernur Sulteng, Longki Djanggola menungkapkan bahwa Pemprov dan masyarakat Sulteng telah memperjuangkan pelepasan (relinquish) pengelolaan ini sejak tahun 2008. Alasannya, blok tersebut berada dalam kondisi terlantar sehingga merugikan.

Kondisi tambang terlantar alias mangkrak itu lah yang diharapkan tak kembali terjadi. Sayangnya, PT Aneka Tambang (Antam), BUMN yang menjadi “saingan” perusda dalam pengelolaan tambang ini, dinilai oleh pihak Sulteng memiliki track record yang tak bagus.

“Antam ini kurang perfom. Kami melihat, Kalau Antam yang mendapatkan, akan sama dengan Vale yang dulu sudah sekitar 50-an tahun mempunyai kontrak karya di tempat kita,” lanjut Elim.

Untuk memenangkan tambang ini, Elim menyebut, pihaknya akan all out, dan siap untuk menempuh berbagai langkah yang diperlukan. Apalagi, Elim menilai bahwa pihaknya seakan “dikerjai” agar tersendat, bahkan supaya tersingkir untuk mendapatkan tambang yang berada di daerahnya tersebut.

”Yang ikut Lelang cuma dua, Perusda sama Antam. Masa semut diadu dengan gajah?, BUMD dengan BUMN. Kita dari awal seperti mau diganjal untuk mendapatkan lokasi ini. Macam-macam saja, KDI dinaikan, WIUPK diturunkan, dimasukan lah Antam,” terang Elim.

Sebagai informasi, pada Maret 2018, Perusda mendapatkan dokumen tender untuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) produksi Bahodopi berikut nilai Konpensasi Data dan Informasi (KDI) sebesar Rp. 32 miliar. Namun, pada Mei 2018, terjadi perubahan status menjadi WIUPK Eksplorasi dan kenaikan KDI menjadi Rp. 184,8 miliar.

Elim menyebutkan untuk urusan finansial, pihaknya tergolong siap. Selain itu, pihaknya juga telah mempersiapkan teknologi dan pengelolaan dari hulu hingga hilir. Bahkan, melalui kerjasama yang tengah dijajaki dengan dua mitra yang diklaim mumpuni, tambang ini diproyeksikan tak hanya akan mengoptimalkan produksi nikel, tapi juga cobalt.

Elim menyebutkan bahwa dari Morowali Perusda akan mengolah cobalt dan akan diproduksi untuk baterai mobil listrik. Ia yakin jika suatu saat Indonesia masuk ke era mobil listrik, pasokan baterai utamanya akan berasal dari Morowali.

Di tempat terpisah, saat dikonfirmasi KONTAN, Direktur Utama PT Pembangunan Sulteng, Suaib Djafar mengklaim, mitra dari Perusda telah berpengalaman dalam pengelolaan tambang, bahkan mengoperasikan smelter.

“Pada prinsipnya kami sebagai BUMD siap mengelola lahan eks Vale Sebagaimana yang ditawarkan Kementerian ESDM. Adapun mitra kami adalah PT COR dan Binglong,” ujar Djafar.

Ia menyebut, untuk Bahodopi Utara ini, hanya Antam dan pihaknya yang mengikuti lelang. Djafar menegaskan bahwa pihaknya siap untuk mengikuti persyaratan yang telah ditentukan, termasuk kesiapan pembayaran KDI yang disyaratkan oleh ESDM.

“Ini lah harapan Perusda ikut lelang walaupun dengan tingginya nilai KDI, kami tetap berusaha untuk mendapatkannya. Karena itulah harapan rakyat agar lebih berdaya di daerahnya sendiri,” imbuhnya.

Di sisi lain, hingga tulisan ini dibuat, KONTAN belum mendapatkan konfirmasi yang komprehensif dari pihak Kementerian ESDM dan Antam. Direktur Bina Program Minerba Kementerian ESDM, Muhammad Wafid Agung hanya menyebut bahwa progres tender tersebut saat ini masih dalam proses finalisasi.

“Jika sudah selesai pasti akan segera diumumkan secara resmi. Nunggu nanti saja, sebentar lagi, kok,” ucap Wafid.

Sementara Direktur Utama Antam, Arie Prabowo Ariotedjo, menampik tuduhan bahwa pihaknya akan mengulang kesalahan Vale yang menelantarkan tambang tersebut. Dengan nilai investasi yang besar dan perencanaan bisnis yang ada, lanjut Arie, tak masuk logika bila nantinya tambang itu ditelantarkan.

“Dengan jumlah KDI yang bernilai besar, logika-nya apakah tambang ini akan ditelantarkan? Tentu tidak kan? Kita keluar uang sedemikian besar untuk sudah mempunyai business plan bagaimana investasi tersebut bisa kembali,” terang Arie.

Sementara mengenai kerjasama dengan pihak swasta, Arie mengaku pihaknya masih melakukan review. Ia menyebut, hal itu tidaklah aneh, mengingat secara aturan dimungkinkan.

“Di semua aset Antam seperti hal nya di Pulau Gag, kita juga sedang menjajaki partnership dengan pihak swasta. Yang harus diingat bahwa mendapatkan IUP itu tidak gratis. Harus ada KDI yang dibayar,” ungkapnya.

Terkait pembangunan smelter, Arie menyebut bahwa pihaknya akan melihat cadangan yang ada di tambang tersebut. Jika cadangan di tambang tersebut mencukupi maka Antam pasti akan membuat smelter. Tapi kalau tidak, produksi tambang bisa dijual atau dikerjasamakan dengan smelter yang sudah ada di dalam negeri, termasuk dengan smelter Antam.

Sementara menurut Ketua Adat Bungku Kab. Morowali, Rus Hadie, perlu ada antisipasi untuk mencegah kerawanan hingga konflik sosial dalam menangani persoalan ini. Menurutnya, wilayah tambang tersebut adalah tanah adat atau ulayat, sehingga potensi konflik harus bisa diantisipasi.

“Kalau dari kami mendukung perusda Sulteng. Kami ada sejarah buruk dengan Antam dan Vale. Tahun 1990-an ada kerusuhan dengan Antam, 2012 dengan Vale. Karena lahan didiamkan, tak diolah, sehingga tak ada pemasukan, SDM nggak digunakan. Itu kerugian besar, dan kami tidak mau lagi hal seperti itu,” tandas Rus Hadie.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Agung Jatmiko