JAKARTA. Ekonomi Amerika Serikat (AS) mulai berangsur pulih. Hal ini di buktikan dengan langkah Gubernur Bank Sentral AS, The Fed yang melakukan pengurangan stimulus alias quantitative easing (QE) mulai Januari 2014. Perbaikan ekonomi negara adikuasa ini bisa dimanfaatkan sebagai pendorong kinerja ekspor dalam negeri. Namun, kinerja ekspor Indonesia tidak akan terbantu banyak. Ekonom Senior PT Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra mengatakan, dampak pertumbuhan ekonomi AS terhadap Indonesia akan lebih kecil dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Berdasarkan estimasi Mandiri Sekuritas, kontribusi 1% ekonomi AS akan mendorong pertumbuhan 0,08% bagi Indonesia. Sedangkan bagi India sebesar 0,18%, China sebesar 0,22%, Filipina sebesar 0,29%, Thailand sebesar 0,5%, dan Malaysia tertinggi dengan 0,56%. "AS bukan top rekan perdagangan kita," ujar Aldian dalam Prospek Ekonomi 2014 di Jakarta, Jumat (20/12). Berdasarkan data World Bank tahun ini, sebagian besar ekspor bahan mentah ditujukan ke negara-negara Asia. Ambil contoh, crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit. Urutan pertama diduduki oleh India dengan nilai US$ 5,1 miliar. Kemudian diikuti oleh China dengan US$ 3,6 miliar, Malaysia sebesar US$ 1,9 miliar, Belanda sebesar US$ 1,8 miliar, dan Singapura dengan US$ 1 miliar. Sementara dari data Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri, dari Januari hingga Oktober 2013 total eskpor non migas mencapai US$ 123,19 miliar. China menduduki posisi pertama pangsa ekspor terbesar mencapai 13,56% dengan nilai US$ 16,71 miliar. Kemudian menyusul Jepang dengan 10,83% dengan nominal US$ 13,34 miliar. Amerika Serikat di posisi ketiga dengan porsi 10,22% dengan nilai US$ 12,59 miliar. Aldian menjelaskan, apabila Asia mengalami pemulihan baru akan berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Inilah yang kemudian menyebabkan kinerja ekspor Indonesia di tahun depan masih berat. Apalagi, dengan adanya pelarangan ekspor mineral yang mulai berlaku di tahun depan akan semakin membuat ekspor Indonesia memburuk.
Pemulihan AS akan membantu ekspor Indonesia
JAKARTA. Ekonomi Amerika Serikat (AS) mulai berangsur pulih. Hal ini di buktikan dengan langkah Gubernur Bank Sentral AS, The Fed yang melakukan pengurangan stimulus alias quantitative easing (QE) mulai Januari 2014. Perbaikan ekonomi negara adikuasa ini bisa dimanfaatkan sebagai pendorong kinerja ekspor dalam negeri. Namun, kinerja ekspor Indonesia tidak akan terbantu banyak. Ekonom Senior PT Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra mengatakan, dampak pertumbuhan ekonomi AS terhadap Indonesia akan lebih kecil dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Berdasarkan estimasi Mandiri Sekuritas, kontribusi 1% ekonomi AS akan mendorong pertumbuhan 0,08% bagi Indonesia. Sedangkan bagi India sebesar 0,18%, China sebesar 0,22%, Filipina sebesar 0,29%, Thailand sebesar 0,5%, dan Malaysia tertinggi dengan 0,56%. "AS bukan top rekan perdagangan kita," ujar Aldian dalam Prospek Ekonomi 2014 di Jakarta, Jumat (20/12). Berdasarkan data World Bank tahun ini, sebagian besar ekspor bahan mentah ditujukan ke negara-negara Asia. Ambil contoh, crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit. Urutan pertama diduduki oleh India dengan nilai US$ 5,1 miliar. Kemudian diikuti oleh China dengan US$ 3,6 miliar, Malaysia sebesar US$ 1,9 miliar, Belanda sebesar US$ 1,8 miliar, dan Singapura dengan US$ 1 miliar. Sementara dari data Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri, dari Januari hingga Oktober 2013 total eskpor non migas mencapai US$ 123,19 miliar. China menduduki posisi pertama pangsa ekspor terbesar mencapai 13,56% dengan nilai US$ 16,71 miliar. Kemudian menyusul Jepang dengan 10,83% dengan nominal US$ 13,34 miliar. Amerika Serikat di posisi ketiga dengan porsi 10,22% dengan nilai US$ 12,59 miliar. Aldian menjelaskan, apabila Asia mengalami pemulihan baru akan berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Inilah yang kemudian menyebabkan kinerja ekspor Indonesia di tahun depan masih berat. Apalagi, dengan adanya pelarangan ekspor mineral yang mulai berlaku di tahun depan akan semakin membuat ekspor Indonesia memburuk.