KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dalam jangka panjang berpotensi menguat. Pemulihan ekonomi global bisa menjadi sentimen positif yang menopang kenaikan harga minyak dalam jangka panjang. Terbaru, sinyal bullish ditunjukkan dari penurunan stok minyak Amerika Serikat (AS). Mengutip Bloomberg Rabu (7/2) pukul 15.33 WIB, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di bursa New York Mercantile Exchange (NYMEX) untuk pengiriman Maret 2018 menguat 0,33% ke US$ 63,63 per barel. Namun harga masih bergerak fluktuatif dan kembali melemah ke US$ 63,33 per barel pada pukul 17.20 WIB. Penguatan harga minyak siang tadi merespons rilis data American Petroleum Institute (API) yang menyatakan stok minyak mentah komersial AS pada pekan yang berakhir 2 Februari 2018 berkurang 1,1 juta barel menjadi 418,4 juta barel.Sedangkan Energy Information Administration (EIA) baru akan merilis data stok minyak mentah AS pada malam ini dengan proyeksi stok bertambah 3,2 juta barel atau lebih rendah dari penambahan stok pekan sebelumnya 6,8 juta barel. Dalam jangka panjang, Ibrahim Direktur Garuda Berjangka yakin harga minyak masih akan menguat. "Harga minyak akan terus kuat, bukan karena ada kekurangan cadangan tapi karena perbaikan ekonomi global yang akan diikuti pulihnya daya beli dan industri dunia," jelas Ibrahim kepada Kontan.co.id hari ini. Sentimen positif berasal dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang optimistis ekonomi global akan bertumbuh dengan prediksi masing-masing 3,9% dan 3,1%. Selain itu, data ekonomi China, Jepang, dan kawasan Uni Eropa juga menunjukkan sinyal penguatan ekonomi. Apalagi, dollar AS berada dalam koridor pelemahan lantaran China dirumorkan bakal berhenti membeli surat utang AS. "Artinya AS harus siap-siap lemahkan dollar agar investor asing dari Eropa dan Asia mau masuk lagi ke aset dollar," jelas Ibrahim. Korelasinya, bila dollar melemah maka harga beli komoditas menjadi lebih murah, hal ini akan memicu pasar untuk melakukan aksi beli. Sedangkan pada perdagangan Kamis (8/2), Ibrahim melihat harga minyak akan melanjutkan tren pelemahan. Hal ini terlihat dari indikator moving average convergence divergence (MACD) dan relative strength index serentak di 60% area negatif. Namun gerak harga berada di bollinger band dan MA 60% di atas bollinger bawah. Sedangkan indikator stochastic positif di level 70%. Ibrahim memperkirakan harga minyak akan koreksi ke rentang US$ 63,53 - US$ 64,50 per barel. Sedangkan dalam sepekan, harga akan bergulir ke US$ 63 - US$ 65 per barel.
Pemulihan ekonomi global jadi sinyal bullish harga minyak
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dalam jangka panjang berpotensi menguat. Pemulihan ekonomi global bisa menjadi sentimen positif yang menopang kenaikan harga minyak dalam jangka panjang. Terbaru, sinyal bullish ditunjukkan dari penurunan stok minyak Amerika Serikat (AS). Mengutip Bloomberg Rabu (7/2) pukul 15.33 WIB, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) di bursa New York Mercantile Exchange (NYMEX) untuk pengiriman Maret 2018 menguat 0,33% ke US$ 63,63 per barel. Namun harga masih bergerak fluktuatif dan kembali melemah ke US$ 63,33 per barel pada pukul 17.20 WIB. Penguatan harga minyak siang tadi merespons rilis data American Petroleum Institute (API) yang menyatakan stok minyak mentah komersial AS pada pekan yang berakhir 2 Februari 2018 berkurang 1,1 juta barel menjadi 418,4 juta barel.Sedangkan Energy Information Administration (EIA) baru akan merilis data stok minyak mentah AS pada malam ini dengan proyeksi stok bertambah 3,2 juta barel atau lebih rendah dari penambahan stok pekan sebelumnya 6,8 juta barel. Dalam jangka panjang, Ibrahim Direktur Garuda Berjangka yakin harga minyak masih akan menguat. "Harga minyak akan terus kuat, bukan karena ada kekurangan cadangan tapi karena perbaikan ekonomi global yang akan diikuti pulihnya daya beli dan industri dunia," jelas Ibrahim kepada Kontan.co.id hari ini. Sentimen positif berasal dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang optimistis ekonomi global akan bertumbuh dengan prediksi masing-masing 3,9% dan 3,1%. Selain itu, data ekonomi China, Jepang, dan kawasan Uni Eropa juga menunjukkan sinyal penguatan ekonomi. Apalagi, dollar AS berada dalam koridor pelemahan lantaran China dirumorkan bakal berhenti membeli surat utang AS. "Artinya AS harus siap-siap lemahkan dollar agar investor asing dari Eropa dan Asia mau masuk lagi ke aset dollar," jelas Ibrahim. Korelasinya, bila dollar melemah maka harga beli komoditas menjadi lebih murah, hal ini akan memicu pasar untuk melakukan aksi beli. Sedangkan pada perdagangan Kamis (8/2), Ibrahim melihat harga minyak akan melanjutkan tren pelemahan. Hal ini terlihat dari indikator moving average convergence divergence (MACD) dan relative strength index serentak di 60% area negatif. Namun gerak harga berada di bollinger band dan MA 60% di atas bollinger bawah. Sedangkan indikator stochastic positif di level 70%. Ibrahim memperkirakan harga minyak akan koreksi ke rentang US$ 63,53 - US$ 64,50 per barel. Sedangkan dalam sepekan, harga akan bergulir ke US$ 63 - US$ 65 per barel.