KONTAN.CO.ID - JAKARTA Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis subsidi terutama pertalite harus benar-benar dicermati dengan baik oleh pemerintah. "Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan (
volatile food) hampir sentuh 11% secara tahunan per Juli 2022," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (23/8). Ia menyebut, masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak dari kenaikan harga BBM tersebut.
Menurutnya, mungkin sebelumnya masyarakat kelas menengah rentan akan kuat membeli pertamax, tetapi sekarang mereka migrasi ke pertalite. Dan jika apabila harga pertalite juga ikut naik maka kelas menengah juga akan mengorbankan belanja lain.
Baca Juga: Sinyal Harga BBM Subsidi Naik, Bahlil : Masyarakat Harus Paham Keuangan Negara "Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin," katanya. Sehingga imbasnya, Bhima menyebut, permintaan industri manufaktur bisa terpukul dan pada akhirnya penyerapan tenaga kerja bisa terganggu. Alhasil target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar. Selain itu, jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang bisa masuk fase stagflasi. Imbasnya, tiga hingga lima tahun pemulihan ekonomi bisa terganggu akibat daya beli masyarakat yang juga bisa menurun tajam. Berdasarkan dokumen APBN KITA, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah mencairkan anggaran subsidi energi sebesar Rp 88,7 triliun hingga 31 Juli 2022 atau naik 27,5% secara tahunan. Sementara itu, Kementerian Keuangan mencatat APBN surplus sebesar Rp 106,1 triliun di Juli 2022.
Baca Juga: Skema Alternatif Kenaikan BBM Sudah Disiapkan, Begini Kata Airlangga Hartarto "Artinya, pemerintah juga menikmati kenaikan harga minyak mentah untuk dorong penerimaan negara. Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak
urgent dan korbankan subsidi energi," kata Bima. Oleh karena itu, menurut Bhima, Win-win solutionnya adalah pemerintah bisa melakukan revisi aturan untuk menghentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar. Dengan menutup kebocoran solar subsidi, menurut Bhima, bisa menghemat pengeluaran subsidi dikarenakan 93% konsumsi solar adalah jenis subsidi. "Pemerintah juga bisa secara paralel pangkas belanja infrastruktur, belanja pengadaan barang jasa di pemerintah daerah dan pemerintah pusat," ungkapnya.
Baca Juga: BI Ungkap Alasan Naikkan Suku Bunga Acuan 25 Bps Menjadi 3,75% Untuk menahan harga pertalite agar tidak naik, Bhima memperkirakan pemerintah selama semester II-2022 membutuhkan alokasi subsidi Rp 120 triliun hingga Rp 150 triliun. Angka ini muncul dengan mempertimbangkan asumsi subsidi energi yang baru terpakai Rp 88,7 triliun per akhir Juli 2022. "Artinya spesifik untuk subsidi energi meliputi pertalite, solar, LPG 3 Kg dan listrik, proyeksi kebutuhan diperkirakan Rp 238,7 triliun total di 2022," tutur Bhima. Sehingga menurut Bhima, tanpa ada kenaikan harga pertalite masih memungkinkan anggaran subsidi dan kompensasi sebesar Rp 502 triliun masih lebih dari cukup. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli