Penambahan suplai valas bisa mengaktifkan kembali pasar derivatif



JAKARTA. Seiring masuknya devisa hasil ekspor ke perbankan, Bank Indonesia (BI) ingin mendorong perbankan mengembangkan pasar valuta asing (valas). Salah satu caranya dengan penerbitan instrumen lindung nilai (hedging).

Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI Difi Ahmad Johansyah menjelaskan, kebijakan pemulangan devisa hasil ekspor yang berpotensi meningkatkan likuiditas valas di perbankan harus mendapat respons berupa pengembangan (deepening) pasar keuangan valas agar dana tersebut mendatangkan keuntungan. "Sekarang, pasar masih dangkal, makanya instrumen valas juga sangat sedikit," ujarnya pekan lalu.

Salah satu instrumen yang mungkin dikembangkan perbankan adalah instrumen hedging, seperti non-delivery forward (NDF). Selama ini, banyak lembaga keuangan luar negeri mengeluarkan NDF. Misalnya di Singapura. Nah, banyak bank lokal menggunakan NDF tersebut sehingga biaya menjadi mahal. "Jika diterbitkan sendiri oleh perbankan nasional, biayanya bisa ditekan," tambah Difi.


NDF merupakan suatu kontrak forward jangka pendek. Keuntungan atau kerugian dihitung saat jatuh tempo. Dasar hitungannya adalah selisih antara nilai tukar yang disetujui dan nilai tukar yang terjadi di pasar spot pada saat kontrak tersebut jatuh tempo. "NDF merupakan instrumen hedging yang populer untuk mata uang yang tidak diperdagangkan secara internasional, seperti rupiah," ujarnya.

Difi memprediksi, bertambahnya suplai valas akan mengaktifkan kembali pasar derivatif. Bank sentral tidak akan mempermasalahkan hal tersebut asal transaksi itu memiliki jaminan (underlying) aset yang jelas. Harapannya, semakin banyak instrumen valas, beban bank akan berkurang. Efeknya, ini bisa menurunkan bunga kredit valas.

Direktur Ritel dan Services Bank Mutiara, Benny Purnomo menjelaskan, selama ini, perbankan tidak agresif menerbitkan instrumen hedging karena permintaan nasabah akan produk tersebut tidak banyak. "Jika permintaan nasabah tidak banyak, bank lebih memilih produk yang diambil dari luar negeri ketimbang menerbitkan sendiri. Produk bank selalu mengikuti permintaan nasabah," ujarnya.

Direktur Keuangan Bank UOB Indonesia, Safrullah Hadi Saleh sependapat dengan Benny. Menurutnya, penerbitan suatu produk baru akan menimbulkan biaya bagi bank bila tidak banyak nasabah yang menggunakannya. "Jika permintaan ada, bisa saja dibuat produknya, tetapi prinsip kehati-hatian harus terus dijalankan karena valas memiliki risiko tinggi," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: