Penambang Nikel Protes Dikenai Denda Paling Besar di Sektor Minerba



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengusaha tambang nikel yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) mengkritisi penetapan denda administrasi dalam kegiatan usaha tambang yang tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 391.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Tarif Denda Administratif Pelanggaran Kegiatan Usaha Pertambangan di Kawasan Hutan Untuk Komoditas Nikel, Bauksit, Timah dan Batubara. Untuk diketahui, dibanding jenis mineral lain, nilai denda yang ditetapkan Kementerian ESDM kepada komoditas nikel paling besar yaitu besar Rp 6,5 miliar per hektar dibandingkan dengan komoditas minerba lainnya. Adapun besaran tarif denda administratif sebagaimana dimaksud sebagai berikut: a. komoditas nikel sebesar Rp 6.502.000.000 per hektar b. komoditas bauksit sebesar Rp 1.761.000.000 per hektar c. komoditas timah sebesar Rp 1.251.000.000 per hektar d. komoditas batubara sebesar Rp 354.000.000 per hektar. Menurut Ketua Umum APNI, Komjen Pol (Purn) Nanan Soekarna, pihaknya tidak mengetahui secara rinci mengenai formulasi perhitungan dari denda yang dimaksud dalam Kepmen. Untuk mengetahui formulasi tersebut, Nanan bilang pihaknya bersama FINI tengah melayangkan surat kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan menteri-menteri terkait penjelasan dari formulasi denda. "Dalam draft surat kami nanti salah satunya itu (formulasi dan nilai denda) yang akan kami tanyakan ke pemerintah. Supaya kami juga anggota dari APNI dan FINI mengetahui formulasi dan perhitungannya seperti apa," ungkap Nanan saat ditemui di agenda APNI yang dilaksanakan di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (16/12/2025). 

Baca Juga: KAI Commuter Bersama INKA Operasikan Dua Rangkaian KRL Baru di Lintas Bogor

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) saat ini adalah Arif Perdana Kusumah, mengatakan hal serupa, bahwa dasar perhitungan denda melalui keputuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perlu dijabarkan lebih rinci. "Ini bukan forum penolakan, tapi konsolidasi, mendapatkan masukan-masukan dari anggota, kemudian kita formulasikan, itu menjadi masukan ke pemerintah agar supaya memajukan industri unik ke Indonesia ke depan. Itu sih sebenarnya," ungkap Arif. Nanan mengatakan pemberian denda dinilai lebih tepat jika ditetapkan langsung kepada pelaku tambang ilegal, termasuk penambang nikel ilegal. "Bagi yang ilegal, yang tidak ada IUP, malah tidak ditindak. Kami yang ada IUP, malah ditindak. Yang tidak ada IUP, malah tidak ditindak. Satgas fokus ke sana (tambang ilegal) harusnya, ini harapan kita kan. Baru kita diperiksa juga tidak apa-apa," ungkap Nanan. Sebagai langkah lanjutan para pelaku industri nikel baik di tambang dan hilir akan mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo dan beberapa Kementerian terkait sepertu Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, Kementerian BKPM, Kementerian Keuangan mengenai pengujian kembali Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 391.K/MB.01/MEM.B/2025. Dalam kesimpulannya, APNI dan FINI menyebut salah satunya, adanya isu proporsionalitas dan keadilan antar komoditas, dimana komoditas nikel tercatat jauh lebih tinggi dibandingkan komoditas pertambangan lainnya yang juga beroperasi di kawasan hutan. Perbedaan tarif yang signifikan ini berpotensi menimbulkan: 1. Ketidakseimbangan perlakuan antar sektor pertambangan; 2. Distorsi struktur biaya industri nikel; 3. Persepsi kebijakan yang tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip equal treatment dan keadilan regulasi.


Selanjutnya: Asing Net Sell Jumbo Rp 935 Miliar, Cermati Saham yang Banyak Dijual, Selasa (16/12)

Menarik Dibaca: Hujan Sangat Lebat Guyur Provinsi Ini, Simak Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (17/12)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News