KONTAN.CO.ID - DW. Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer berpendapat bahwa ancaman Amerika Serikat (AS) untuk menarik sekitar 9.500 pasukannya dari Jerman bulan lalu tidak akan merusak hubungan antara kedua negara, namun rencana penarikan akan memicu perdebatan di antara negara-negara aliansi NATO. "Jika mereka (pasukan) tetap di Eropa, maka ini tetap merupakan komitmen terhadap NATO. Tetapi jika mereka akan ditempatkan di kawasan Indo-Pasifik, maka itu akan menandakan adanya perubahan pada strategi AS, yang kemudian akan memicu perdebatan di dalam NATO," ujar Kramp-Karrenbauer dalam wawancaranya bersama DW pada Rabu (22/07). Bulan lalu, Presiden AS Donald Trump menyetujui penarikan lebih dari seperempat pasukannya dari Jerman, dengan mengatakan langkah tersebut akan membantu meningkatkan keamanan di Eropa.
Rencana ini akan "meningkatkan pencegahan Rusia“, memperkuat NATO, dan meningkatkan kepercayaan negara sekutu terutama yang berada di wilayah Eropa, ujar juru bicara Pentagon Jonathan Hoffman dalam sebuah pernyataan. Anggaran belanja NATO Sebelum mengumumkan rencana penarikan ini, pemerintahan Trump telah mendesak Berlin untuk membelanjakan lebih banyak anggaran pertahanannya sebesar 2% dari produk domestik bruto (GDP) seperti yang disyaratkan negara-negara aliansi NATO. Karena gagal memenuhi syarat tersebut, Trump mengancam menarik hampir 10.000 dari 34.500 pasukan AS yang ada di Jerman saat ini sebagai sanksi atas hal tersebut. Pada tahun 2014, negara-negara aliansi NATO sepakat untuk meningkatkan belanja pertahanan menjadi 2% dari total GDP pada tahun 2024. Jerman saat ini masih jauh dari target itu, yakni berkisar di 1,3%. Sebelumnya, Kramp-Karrenbauer berpendapat bahwa komitmen untuk aliansi militer NATO tidak cukup hanya diukur dari GDP suatu negara untuk belanja pertahanan saja. Negosiasi proyek Nord Stream 2 Kramp-Karrenbauer juga mendukung keputusan untuk menegosiasikan proyek pipa gas Nord Stream 2 yang disengketakan, tetapi memperingatkan bahwa sanksi yang diancam oleh Amerika Serikat akan bertentangan dengan hukum internasional. "Ketika menyangkut ancaman sanksi AS, kami di pemerintahan Jerman memiliki posisi yang jelas bahwa ini tidak sesuai dengan hukum internasional," katanya kepada DW. Pipa yang akan mengalirkan gas alam dari Rusia melalui Laut Baltik ke Jerman, menjadi bukti adanya masalah pelik dalam hubungan trans-Atlantik. AS mengkritik proyek ini, di mana pekan lalu Trump memperingatkan bahwa perusahaan yang terlibat dalam proyek ini akan menerima sanksi AS jika mereka tidak menghentikan pekerjaan mereka.
AS, bersama dengan sejumlah negara Eropa Timur, berpendapat bahwa pipa gas ini akan meningkatkan ketergantungan Uni Eropa terhadap sumber daya alam Rusia. Sementara itu, Uni Eropa telah memperingatkan AS untuk tidak menjatuhkan sanksi, namun membahas masalah ini laiknya sekutu. Hal tersebut diamini Kramp-Karrenbauer. "Nord Stream 2 adalah proyek yang juga sedang diperdebatkan di antara Uni Eropa, serta negara-negara anggota NATO," katanya. "Ada kekhawatiran bahwa Jerman bisa menjadi terlalu bergantung pada gas Rusia, kekhawatiran yang dapat kami redam. Tetapi ini juga tentang kekhawatiran dan kepentingan sah Ukraina dan Polandia, yang harus dinegosiasikan ke dalam kontrak." Rabu (22/07), Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo melakukan perjalanan ke Denmark di mana proyek pipa gas Nord Stream 2 diperkirakan akan menjadi agenda dalam pembicaraannya dengan Perdana Menteri Mette Frederiksen dan Menteri Luar Negeri Jeppe Kofod. Pada Oktober tahun lalu, Denmark telah mengizinkan jalur pipa gas Nord Stream 2 melintas di wilayahnya.
Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti