JAKARTA. Tim penasihat hukum terdakwa dugaan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004 Miranda Swaray Goeltom, juga mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK). Penasihat hukum Miranda Goeltom, dalam nota keberatannya mengatakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam perkara pembelian travelers cheque (TC) kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terjadi pada bulan Juni 2004. Menurut penasihat hukum, dakwaan penuntut umum adalah keliru dan bertentangan dengan ketentuan umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan Umum KUHP mengatur mengenai daluarsa (hilangnya hak untuk melakukan penuntutan) sebagaimana diatur dalam pasal 78 ayat (1) butir ke-2 KUHP yang berbunyi “kewenangan menuntut pidana hapus karena daluarsa”. "Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun. Maka penerapan pasal 13 UU Tipikor untuk perkara pemberian TC kepada anggota DPR yang terjadi pada bulan Juni 2004, telah daluarsa pada Juni 2010 yang lalu," tutur salah satu penasihat hukum Miranda, Dodi S. Abdulkadir dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor), Jakarta, Selasa (24/7). Karena itu, menurut Penasihat Hukum Miranda, kewenangan penuntutan untuk perkara pemberian TC kepada anggota DPR dengan menggunakan pasal 13 UU Tipikor, telah hapus sejak bulan Juni 2010. Dengan begitu, dakwaan terhadap terdakwa dengan menggunakan pasal 13 UU Tipikor yang telah daluarsa masa penuntutannya dalam dakwaan ketiga dan ke-empat, mengakibatkan dakwaan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dakwaan tidak dapat diterima. Selain itu, menurut Penasihat Hukum, JPU pada dakwaan kesatu dan kedua, tidak cermat. Di mana pasal yang didakwakan kepada Miranda, yang dianggap sebagai pemberi suap karena bersama-sama atau menganjurkan pemberian TC, tidak sesuai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atas penerima TC yang dinyatakan bersalah, karena menerima gratifikasi dan bukan menerima suap. Sehubungan dengan perkara, lanjut Dodi, para anggota DPR yang menerima TC telah menjalani proses hukum dan telah dijatuhi putusan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 11 UU Tipikor yaitu menerima gratifikasi. Maka, apabila penerima TC dikenakan pasal 11 UU Tipikor dengan tuduhan menerima gratifikasi, maka pemberi TC menurut hukum harus dikenakan pasal 13 UU Tipikor yaitu sebagai pemberi gratifikasi, dalam tenggang waktu yang diberikan oleh undang-undang. "Dalam perkara, penuntut umum telah keliru menggunakan pasal 5 UU Tipikor yang merupakan pasal memberi suap. Bagaimana mungkin ada yang memberi suap kalau tidak ada yang menerima suap," kata Dodi. Penasihat hukum Miranda juga menilai JPU tidak cermat menjelaskan kualifikasi atau kualitas terdakwa berdasarkan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kesatu dan dakwaan ketiga. Miranda, lanjut Dodi, didakwa JPU telah melakukan perbuatan secara bersama-sama dengan orang lain. Namun, dalam dakwaan tidak dijelaskan atau dirumuskan mengenai kualifikasi terdakwa apakah sebagai pelaku, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan. "Dakwaan penuntut umum yang tidak menentukan kualitas terdakwa, adalah tidak jelas. Maka dakwaan JPU adalah batal demi hukum," ucap Dodi. Karena itu, penasihat hukum menyatakan bahwa seluruh dakwaan kesatu, dakwaan kedua, dakwaan ketiga dan dakwaan keempat, tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Penasihat hukum meminta majelis hakim untuk menerima keberatan atau eksepsi penasihat hukum dan juga terdakwa Miranda Swaray Goeltom. Penasihat hukum juga meminta majelis hakim menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau setidak-tidaknya dakwaan tidak dapat diterima. "Kami juga meminta majelis hukum untuk membebaskan terdakwa dari rumah tahanan KPK serta mengembalikan harkat dan martabat serta nama baik terdakwa," ujar Dodi.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Penasihat hukum Miranda: Dakwaan jaksa tidak jelas
JAKARTA. Tim penasihat hukum terdakwa dugaan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004 Miranda Swaray Goeltom, juga mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK). Penasihat hukum Miranda Goeltom, dalam nota keberatannya mengatakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam perkara pembelian travelers cheque (TC) kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terjadi pada bulan Juni 2004. Menurut penasihat hukum, dakwaan penuntut umum adalah keliru dan bertentangan dengan ketentuan umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan Umum KUHP mengatur mengenai daluarsa (hilangnya hak untuk melakukan penuntutan) sebagaimana diatur dalam pasal 78 ayat (1) butir ke-2 KUHP yang berbunyi “kewenangan menuntut pidana hapus karena daluarsa”. "Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun. Maka penerapan pasal 13 UU Tipikor untuk perkara pemberian TC kepada anggota DPR yang terjadi pada bulan Juni 2004, telah daluarsa pada Juni 2010 yang lalu," tutur salah satu penasihat hukum Miranda, Dodi S. Abdulkadir dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor), Jakarta, Selasa (24/7). Karena itu, menurut Penasihat Hukum Miranda, kewenangan penuntutan untuk perkara pemberian TC kepada anggota DPR dengan menggunakan pasal 13 UU Tipikor, telah hapus sejak bulan Juni 2010. Dengan begitu, dakwaan terhadap terdakwa dengan menggunakan pasal 13 UU Tipikor yang telah daluarsa masa penuntutannya dalam dakwaan ketiga dan ke-empat, mengakibatkan dakwaan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dakwaan tidak dapat diterima. Selain itu, menurut Penasihat Hukum, JPU pada dakwaan kesatu dan kedua, tidak cermat. Di mana pasal yang didakwakan kepada Miranda, yang dianggap sebagai pemberi suap karena bersama-sama atau menganjurkan pemberian TC, tidak sesuai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atas penerima TC yang dinyatakan bersalah, karena menerima gratifikasi dan bukan menerima suap. Sehubungan dengan perkara, lanjut Dodi, para anggota DPR yang menerima TC telah menjalani proses hukum dan telah dijatuhi putusan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 11 UU Tipikor yaitu menerima gratifikasi. Maka, apabila penerima TC dikenakan pasal 11 UU Tipikor dengan tuduhan menerima gratifikasi, maka pemberi TC menurut hukum harus dikenakan pasal 13 UU Tipikor yaitu sebagai pemberi gratifikasi, dalam tenggang waktu yang diberikan oleh undang-undang. "Dalam perkara, penuntut umum telah keliru menggunakan pasal 5 UU Tipikor yang merupakan pasal memberi suap. Bagaimana mungkin ada yang memberi suap kalau tidak ada yang menerima suap," kata Dodi. Penasihat hukum Miranda juga menilai JPU tidak cermat menjelaskan kualifikasi atau kualitas terdakwa berdasarkan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kesatu dan dakwaan ketiga. Miranda, lanjut Dodi, didakwa JPU telah melakukan perbuatan secara bersama-sama dengan orang lain. Namun, dalam dakwaan tidak dijelaskan atau dirumuskan mengenai kualifikasi terdakwa apakah sebagai pelaku, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan. "Dakwaan penuntut umum yang tidak menentukan kualitas terdakwa, adalah tidak jelas. Maka dakwaan JPU adalah batal demi hukum," ucap Dodi. Karena itu, penasihat hukum menyatakan bahwa seluruh dakwaan kesatu, dakwaan kedua, dakwaan ketiga dan dakwaan keempat, tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Penasihat hukum meminta majelis hakim untuk menerima keberatan atau eksepsi penasihat hukum dan juga terdakwa Miranda Swaray Goeltom. Penasihat hukum juga meminta majelis hakim menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau setidak-tidaknya dakwaan tidak dapat diterima. "Kami juga meminta majelis hukum untuk membebaskan terdakwa dari rumah tahanan KPK serta mengembalikan harkat dan martabat serta nama baik terdakwa," ujar Dodi.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News