Pencitraan Yogyakarta tuai kritik



YOGYAKARTA. Proses rebranding atau pencitraan kembali Daerah Istimewa Yogyakarta menuai kritik masyarakat, termasuk pengguna media sosial, karena logo yang dihasilkan dinilai tak mencerminkan karakter daerah itu. Menanggapi hal itu, Pemerintah Daerah DI Yogyakarta berencana membentuk tim ahli yang melibatkan perwakilan seniman dan tokoh masyarakat agar proses rebranding bisa diterima publik secara luas.

”Kami menerima banyak masukan terkait rebranding ini, baik langsung maupun melalui media sosial. Masukan itu akan kami perhatikan,” kata Kepala Bappeda DIY Tavip Agus Rayanto dalam diskusi tentang Rebranding Yogyakarta, Minggu (2/11/2014), di Yogyakarta.

Sejak tahun 2001, DIY menggunakan branding ”Jogja Never Ending Asia”. Secara visual, kata ”Jogja” dalam slogan itu muncul dengan tipografi tertentu dan warna hijau. Slogan dan logo itu dikembangkan dengan bantuan perusahaan pemasaran Markplus Inc pimpinan Hermawan Kartajaya. Sesudah pengesahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, pemerintah setempat melakukan pencitraan Yogyakarta.


Hermawan Kartajaya kembali digandeng. Lalu 28 Oktober 2014, logo rebranding dipresentasikan. Secara tipografi, logo baru itu berbeda dengan sebelumnya. Namun, logo itu dikritik banyak pihak, termasuk pengguna media sosial. Bahkan, ada yang mempelesetkan tulisan ”Jogja” dalam logo itu menjadi ”Togua”.

Hermawan mengatakan, landasan filosofi rebranding Yogyakarta adalah sabda tama atau amanat Sultan Hamengku Buwono X selaku Raja Kesultanan Yogyakarta yang disampaikan pada 10 Mei 2012. Dalam amanat itu, Sultan menegaskan, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman—dua kerajaan di DIY— merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, kedua lembaga itu memiliki peraturan dan tata pemerintahan sendiri.

Slogan dan logo baru itu juga mengacu pada visi misi Sultan sebagai Gubernur DIY. Visi dan misi yang kerap disebut dengan istilah ”Jogja Renaissance” itu dibacakan Sultan pada 21 September 2012 di DPRD DIY. Visi-misi itu merangkum harapan Sultan agar DIY menggali pengetahuan dan kebudayaan masa lalu untuk meraih kemajuan.

Menurut Hermawan, dalam rebranding ini, ada tiga karakter yang ingin ditonjolkan, yakni kreativitas, budaya, dan peradaban. Logo resmi ini nantinya bisa dimodifikasi sejumlah pihak untuk berbagai kepentingan, seperti yang terjadi pada logo perusahaan internet Google. ”Dengan begitu, city brand Yogyakarta bisa dimiliki semua warga sehingga menjadi citizen brand,” katanya.

Musisi asal Yogyakarta, Marzuki Mohammad, menuturkan, Pemda DIY seharusnya melibatkan masyarakat saat melakukan rebranding agar logo dan slogan baru itu bisa diterima publik. ”Apalagi, Yogyakarta ini memiliki seniman dan desainer grafis dengan karya bagus,” ujarnya.

Tavip mengatakan, pihaknya akan membentuk tim ahli yang melibatkan seniman dan tokoh masyarakat untuk memberi masukan tentang logo itu. (HRS)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa