KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhir pekan lalu, media sosial
twitter dengan
hastag #BlokirKominfo menggema. Bahkan,
tranding hingga saat ini. Terpantau, Instagram Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga menjadi serbuan netizen. Mereka ramai-ramai menyuarakan boikot Kemenkominfo sebagai bentuk kekesalan atas kebijakan pemblokiran
game dan platform
game online populer seperti
Epic Games, Steam, Dota, Counter Strike dan
Origin sejak Sabtu (30/7) dini hari. Pemblokiran dilakukan karena kewajiban pendaftaran penyelenggara sistem elektronik (PSE) Lingkup Privat dari
game dan platform
game online tersebut tidak dilakukan. Sebelumnya, Kemenkominfo mewajibkan pendaftaran PSE dengan tenggat Rabu (20/7).
Setelah batas waktu lewat, Kemenkominfo memberikan perpanjangan tenggat pendaftaran lima hari kerja sambil mengirimkan surat teguran mulai Kamis (21/7). Kemudian, Menetapkan pemblokiran pada Jumat (29/7) pukul 23.59 WIB.
Baca Juga: Akses Situs yang Diblokir Kominfo Pakai VPN Gratis, Ini 4 Bahayanya Kenapa netizen marah? Tidak dapat dipungkiri, bermain
game saat ini bukan hanya sekedar hobi. Banyak
gamers menggantungkan
game-game tersebut sebagai ladang mata pencaharian mereka di bidang ekonomi kreatif. Termasuk streamer,
influencer, pro player, pelatih, serta e-Sport. Sekedar catatan, selain beberapa
game dan platform
game online tadi, ada beberapa PSE lain yang juga terblokir aksesnya, yakni: Yahoo! dan PayPal. Hanya saja, dari 7 PSE tersebut, Kemenkominfo memutuskan untuk membuka sementara blokir akses layanan PayPal pada Minggu (31/7) pukul 08.00 WIB. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, pembukaan sementara PayPal akan dilakukan selama 5 hari kerja yakni hingga Jumat (5/8) pukul 23:59 WIB. Kebijakan ini diambil setelah mendengar masukan dari masyarakat. “Kami harapkan masyarakat benar-benar memanfaatkan waktu yang kita berikan untuk melakukan migrasi supaya uangnya tidak hilang,” kata Semuel dalam konferensi pers virtual, Minggu (31/7). Blokir segera dibuka Akses platform digital yang terblokir masih dapat dibuka kembali. Kemenkominfo menegaskan bahwa platform digital yang nantinya diblokir, bisa mengajukan normalisasi untuk membuka pemblokiran. Caranya adalah dengan melengkapi pendaftaran PSE melalui
Online Single Submission-Risk Based Approach (OSS-RBA). Kemenkominfo akan memberi bantuan para PSE yang mengalami kendala ketika mendaftar. Kominfo sudah menyiapkan panduan apabila ada hambatan atau masalah jaringan. Terkait dengan
game dan platform
game online yakni Steam, Dota serta Counter Strike, Semuel mengungkapkan, pihaknya sedang berkomunikasi dengan ketiganya dalam hal pendaftaran PSE Lingkup Privat.
Baca Juga: Pencabutan Blokiran PayPal hanya Berlaku 5 Hari, Harap Diingat! Artinya, jika proses pendaftaran tersebut rampung, maka blokir akan dicabut dan bisa kembali dimainkan di Indonesia. Kemenkominfo menjanjikan, tidak butuh waktu lama untuk memulihkan akses jaringan yang terblokir. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini mereka sudah bisa melengkapi sehingga masyarakat pengguna layanan ini bisa segera dapat menggunakan kembali,” ucap Semuel. Sampai Minggu (31/7), terdapat 5.453 Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) atau perusahaan yang telah mendaftarkan 9.039 Sistem Elektonik (SE) atau platformnya. Sebanyak 53 PSE yang terkena suspend karena datanya tidak valid dan tidak ada kejelasan, serta 7 PSE diblokir. Mengutip laman resmi PSE Kemenkominfo, dari 9.039 SE tersebut ada 289 PSE asing dan 8.750 PSE domestik. Menciptakan ruang digital agar kondusif, aman dan nyaman Pendaftaran PSE ini sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Pendaftaran PSE wajib dilakukan di Indonesia untuk beberapa kategori. Diantaranya, PSE yang menyediakan, mengelola, dan atau mengoperasikan dan atau perdagangan barang/jasa; PSE yang menyediakan, mengelola, dan atau mengoperasikan layanan keuangan. Selanjutnya, PSE yang memiliki layanan pengiriman materi atau muatan digital berbayar melalui jaringan data baik dengan cara unduh melalui portal atau situs, pengiriman lewat surat elektronik, atau melalui aplikasi lain ke perangkat pengguna. Serta, PSE dengan layanan mesin pencari, PSE dengan melakukan pemrosesan data pribadi. Tujuan kewajiban pendaftaran PSE di beberapa kategori tersebut ditujukan untuk menciptakan ruang digital agar kondusif, aman, nyaman bagi pelaku penyedia ataupun pengguna. Sehingga diperlukan ekosistem yang kuat yang semuanya
trusted. "Kita buka warung aja kita harus izin ini ada orang bisnisnya sampai triliunan
ngga mau daftar? tujuannya apa mereka? Kita terbuka mau daftar silahkan mendaftar. Tapi ini aturannya," tegasnya.
Baca Juga: Steam dan Epic Games Tidak Bisa Diakses? Ternyata Belum Masuk Daftar PSE Kominfo Kebijakan telat Kepala Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja menilai, pendaftaran dan aturan mengenai PSE memang diperlukan, meski pemerintah dinilai telat baru melakukannya saat ini. Pasalnya, terdapat PSE yang muncul dan ternyata merugikan masyarakat atau pengguna. Ardi menambahkan, tujuan adanya aturan mengenai PSE akan membantu dasar penegakan hukum bagi pemerintah ataupun aparat apabila di kemudian hari, ditemukan permasalahan hukum yang diadukan masyarakat. "Malau ada masalah hukum pemerintah dan penegak hukum bisa bantu. Kalau nggak ada dasar hukumnya bagaimana? Banyak kasus-kasus diadukan masyarakat itu tidak bisa tertangani karena tidak jelas sapa yang mau ditangani. Kami lihat dari pengalaman yang saya hadapi dari tahun 2013, banyak sekali kasus-kasus yang sulit ditangani, makanya walaupun telat tapi bagus diatur di daftar," kata Ardi. Ia menyebut tak jarang oknum yang memiliki keahlian di bidang informatika, membuat sebuah aplikasi dan mudah diunduh masyarakat. Maka, dengan adanya pendaftaran, ketika suatu layanan elektronik yang di dalamnya terdapat transaksi keuangan dan pengumpulan data, pengguna akan terlindungi. "Ketika itu platform atau aplikasi merugikan orang banyak, apalagi sudah menarik iuran atau ada transaksi keuangan artinya harus ada tanggung jawab hukum. Nah ini harus ada aspek perlindungan kepada penggunanya, sehingga perlu ada pendaftaran," imbuhnya. Kemudian perihal
take down, Ardi menjelaskan proses
take down suatu aplikasi atau platform tak bisa dilakukan seperti membalikkan telapak tangan. Ada proses persyaratan hukum yang harus dilakukan pemerintah sebelumnya, seperti mengirimkan surat peringatan kepada platform beserta bukti lengkap sebelum dilakukan
take down.
Baca Juga: Setelah Layanan Cloud dan Ads, Google Daftarkan 4 Layanan Ini ke Kominfo "Di masing-masing platform ada
legal officer. Kalau ada masalah hukum yang terkait dengan platform itu, harus ada surat pengantar yang sudah lengkap dengan barang bukti diajukan sebagai permintaan resmi dari pemerintah kepada terlapor, mereka bisa tolak atau terima. Jadi
ngga serta merta tadi takut bener Kominfo bisa intip (aktivitas,
chat) dan lainnya. Tidak sesederhana yang kita bayangkan," ungkapnya. Persoalan PSE tak bisa hanya dipandang dalam hal sempit. Perlu juga melihat isu ini lebih luas dalam kacamata konsumen. Marak sekali serangan siber seperti fenomena kebocoran data, di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Maka diperlukan pendaftaran untuk mitigasi hal tersebut. Ardi menekankan, dibalik serangan siber, kebocoran data juga dapat membuat trauma psikolog pengguna lantaran data miliknya yang bocor. Disamping tentunya ada juga dampak yang didapatkan oleh PSE. Hal tersebut juga yang menjadi alasan perlunya pendaftaran PSE. "Semua bentuk serangan siber tidak tunggal selalu ada dua atau tiga serangan yang dompleng serangan pertama. Serangan pertama itu kamuflase, serangan kedua tiga adalah serangan sebenarnya. Inilah gambaran kenapa perlu PSE," kata Ardi. Ardi menambahkan, pendaftaran PSE diperlukan meski baru dilakukan pemerintah sekarang. Agar fenomena kebocoran data hingga kerugian ekonomi yang mungkin dirasakan pengguna dapat memiliki dasar hukum jika diadukan. Langkah pemerintah mewajibkan pendaftaran bagi PSE mendapat dukungan oleh raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) Google. Sebelumnya, Google Indonesia menyatakan kesediaannya mengikuti aturan pemerintah soal PSE ini. "Kami mengetahui keperluan mendaftar dari peraturan terkait, dan akan mengambil tindakan yang sesuai dalam upaya untuk mematuhi," kata perwakilan Google Indonesia dikutip Kompas TV dari Antara, Selasa (19/7). Menurut Kemenkominfo, Google sudah melakukan pendaftaran PSE secara manual. Google sudah melengkapi syarat-syarat yang yang nantinya akan di-
upload ke sistem Kominfo. Amazon juga telah mendaftar sebelum tanggal 20 Juli 2022 namun masih dalam bentuk manual.
Baca Juga: Sanksi Menanti Bagi PSE yang Telat Mendaftar, Mulai Teguran Hingga Pemutusan Akses Menurut Kemenkominfo, ada ratusan PSE lain yang juga mendaftar secara manual karena kesulitan saat mendaftar
online hingga tenggat waktu yang diberikan habis. Selain PSE asing, ada juga PSE domestik yang mendaftar secara manual. Untuk itu Kemenkominfo masih memberi toleransi hingga 1 bulan guna melengkapi kekurangan data terhitung sejak tanggal 20 Juli 2022. Dalam pendaftaran manual, nantinya PSE tetap harus melanjutkan ke pendaftaran secara online. Verifikasi untuk memastikan keabsahan data pendaftaran bersifat post-audit. Artinya, kementerian memberikan kepercayaan bagi PSE untuk memberikan data yang sebenar-benarnya. Di formulir pendaftaran, PSE juga diminta menyatakan bahwa data tersebut adalah benar. Setelah PSE melakukan pendaftaran, tim Kominfo akan melakukan validasi. Kemenkominfo juga akan menjatuhkan sanksi kepada PSE yang temuan data di lapangannya berbeda dengan data yang dilaporkan melalui OSS. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .