Pendanaan 9 Proyek EBT PLN Senilai Rp 51 Triliun Terhambat Aturan TKDN



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. PT PLN buka-bukaan pendanaan dari luar negeri untuk 9 proyek pembangkit energi baru terbarukan (EBT) terhambat aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). 

Executive Vice President of Renewable Energy PT PLN, Zainal Arifin menjelaskan, eksekusi pembangkit EBT di dalam RUPTL 2021-2030 tertunda karena masalah over capacity listrik PLN dan aturan TKDN. 

“Khususnya kami sekarang mendapatkan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB), World Bank, Japan International Cooperation Agency (JICA) yang stuck karena TKDN tidak masuk dalam procurement mereka,” ujarnya ditemui di sela acara  IMEC 2023 di Financial Hall CIMB Niaga, Selasa (19/12).


Baca Juga: PLN Realisasikan Hampir 1 GW Pembangkit EBT dari Target 20,9 GW

Zainal bilang, ada 9 proyek dengan total Rp 51 triliun yang terhambat pendanaannya karena tidak bisa masuk dalam pengadaan (procurement) lembaga keuangan internasional. 

Aturan TKDN ini diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No 54 Tahun 2012 kemudian diubah menjadi Permen Perindustrian No 4 Tahun 2017 di mana terdapat 6 treshold TKDN di dalam proyek ketenagalistrikan. Adapun masing-masing pembangkit diperinci syarat TKDN-nya. 

“Kami mau lelang PLTA Cisokan, PLTA Matenggeng, hingga PLTP Hulu Lais karena aturan local content tidak bisa diterima dalam procurement ADB, World Bank, maupun JICA,” imbuhnya. 

Alasan TKDN menghambat pendanaan dari luar negeri, dalam konteks World Bank saja, lanjut Zainal, konsensus semua anggota Wolrd Bank tidak bisa memberikan referensi local content karena sumber pendanaan berasal dari banyak negara. 

Dia berharap, ada revisi terkait TKDN khusus untuk proyek-proyek yang pendanaannya berasal dari luar negeri. 

Sebelumnya hal yang sama juga sempat dikemukakan Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto bahwa seringkali banyak proyek strategis di sektor energi dan ketenagalistrikan terkendala dengan kebijakan TKDN. 

“Banyak proyek EBT dan ketenagalistrikan terutama hibah atau pinjaman dari luar negeri, justru presentasi TKDN tidak sesuai regulasi yang ada,” ujarnya dalam Rapat Kerja (Raker) di Komisi VII DPR RI, Senin (20/11).

Maka itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif meminta adanya perubahan kebijakan TKDN yang lebih fleksibel dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). 

Arifin meminta agar pengutamaan produk dari dalam negeri mempertimbangkan sejumlah hal. 

“Pertimbangan itu meliputi ketersediaan atau kemampuan dalam negeri, harga energi baru/energi terbarukan yang tetap kompetitif, dan pemberian fleksibilitas sesuai sumber pendanaan EBET,” ujarnya. 

Menteri ESDM menyatakan, pengaturan TKDN sangat penting tetapi juga perlu mengukur kapasitas dan kemampuan sendiri (dalam negeri). Dia mengingatkan, jangan sampai aturan ini menghambat dan membuat biaya pengembangan EBT menjadi tinggi. 

“Untuk itu kita perlu juga melihat roadmap masing-masing industri itu, kesiapannya untuk TKDN kapan saja,” jelasnya. 

Baca Juga: Transisi Ekonomi Hijau Bisa Dorong Pendapatan Masyarakat Hingga Rp 902,2 Triliun

Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin, Andi Rizaldi menyampaikan, pihaknya cukup memahami untuk menjaga ketahanan energi nasional dengan proyek EBT, memerlukan pembiayaan yang cukup besar. Kebutuhan ini dapat dipenuhi dari pinjaman atau hibah luar negeri dari berbagai lembaga keuangan. 

“Namun implementasinya harus tetap disesuaikan dengan regulasi TKDN,” jelasnya. 

Oleh karena itu, berdasarkan rapat pembahasan 15 September 2023, terdapat usulan Revisi Permen No 54 Tahun 2012 yang mengatur TKDN, kemudian menambahkan ketentuan dalam PP 10 No 2011 dan Perpres 6 2018 yang memperbolehkan penggunaan peraturan lain apabila diatur dalam perjanjian pinjaman atau hibah. 

“Dalam prinsip secara umum pendanaan internasional juga harus memperhatikan dan mengakomodir kepentingan dalam negeri dan kepentingan nasional,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .