KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan membatasi pendanaan fintech yang berasal dari
super lender atau
lender institusi. Saat ini, pendanaan fintech memang masih didominasi oleh keberadaan
super lender. Melalui aturan terbaru, OJK ingin mendorong kontribusi
lender dari publik atau segmen ritel. Kriteria lender institusi akan diperjelas, apalagi yang menyangkut
lender dari luar negeri agar fungsi pengawasan lebih efektif dan terukur. Sebelumnya, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B, Bambang W. Budiawan mengatakan, saat ini aturan yang berlaku ialah super
lender dibatasi memberikan pembiayaan 25% dari pinjaman. Hal ini dilakukan agar
fintech lending tidak hanya bergantung pada satu super
lender.
Jika merujuk data OJK sampai akhir tahun 2021 lalu,
lender ritel baru memiliki kontribusi sebesar 15,1% dari
outstanding pinjaman. Adapun nilainya hanya mencapai Rp 4,43 triliun.
Lender yang berasal dari luar negeri masih memberikan kontribusi 25,03% dari
outstanding pinjaman. Nilainya mencapai Rp 7,31 triliun.
Baca Juga: Fintech yang Menjadi Favorit Anak Muda Berkat Strategi Metode Cicilan Yang Fleksibel Kendati demikian, CEO fintech P2P lending Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengaku hal tersebut tidak berdampak signifikan. "Kami tidak punya super
lender yang
outstanding-nya lebih dari 25% karena
lender kami beragam, didukung hampir 200,000
retail lenders dan belasan lembaga keuangan termasuk bank-bank besar di Indonesia," kata Ivan kepada kontan.co.id, Kamis (24/3). Sebagai gambaran, lender institutional Akseleran dari mulai bank-bank seperti Bank OCBC, Bank BCA, BCA Digital, BRI, Bank Jtrust, sampai BPR seperti BPR Supra dan Multifinance seperti Credit Saison. "Porsinya saat ini untuk retail 65% sedangkan
institutional lender 35%," ujar Ivan. Sementara itu, Ivan juga menyebutkan antara super
lender atau
lender ritel tidak ada pembeda yang cukup signifikan. Dari sisi bunga yang ditawarkan, keduanya bisa mendapat imbal hasil di kisaran 10% hingga 12%. "Strategi kami yaitu, terus mem-
balance dan diversifikasi
lenders. Kami memberikan
peace of mind dengan NPL yang rendah dan proteksi asuransi sampai 99% dari pokok pinjaman tertunggak, serta bunga yg kompetitif," imbuh Ivan. Fintech P2P lending Koinworks juga mengaku, saat ini, KoinWorks tidak memiliki institusi keuangan yang mendanai sampai 25% dari total penyaluran pinjaman. Panca Prejapar,
VP of Financial Institution KoinWorks menyatakan, peraturan dari OJK dalam rangka pembatasan satu lender institusi dalam memberikan pembiayaan 25% dari total pinjaman tidak banyak berdampak pada KoinWorks. "Hal ini dikarenakan porsi pendanaan dari
lender ritel masih menjadi yang terbesar di KoinWorks, dan kami melihat tren ini tetap terjaga pada tahun 2022 ini. Selain dikarenakan porsi pendanaan ritel yang besar, hal ini dapat terwujud pula andil dari animo yang baik dari institusi keuangan yang mempunyai visi yang sama dengan KoinWorks untuk memberikan akses pendanaan pada UMKM," tutur Panca.
Baca Juga: Fintech Terus Jadi Incaran Modal Ventura Menurutnya, dengan bekerja sama dengan beberapa institusi keuangan yang secara bersama-sama berkontribusi sekitar 20% dari total penyaluran pinjaman membuat tidak ada institusi keuangan yang mendominasi komposisi pendanaan penyaluran pinjaman dan menjaga posisi tawar KoinWorks demi mencapai inklusi keuangan pada UMKM. Panca juga menjelaskan,
lender dapat memperoleh imbal hasil yang beragam hingga 18% p.a. berdasarkan pada produk yang didanai dan profil risiko. Sementara itu, fintech P2P lending Amartha mengaku, dengan adanya aturan tersebut tidak berdampak karena super
lender Amartha porsinya tidak dominan. Andi Taufan Garuda Putra, Founder & CEO Amartha menjelaskan, komposisi pendana pada dasarnya lebih dominan dari pendana institusi dari sektor perbankan, seperti BPD, BPR, maupun bank nasional, yang porsinya mencapai lebih dari 60%. Sisanya terbagi menjadi pendana individu, baik yang retail maupun premium, tetapi porsinya tidak dominan.
"Pada dasarnya Amartha siap untuk mematuhi pembatasan tersebut. Karena kita komposisinya lebih banyak yang institusi perbankan," ujar Andi. Selain itu Andi menyebut, untuk imbal hasil yang berlaku tetap sama dengan pendana lainnya yakni mencapai 15% flat per tahun. Hanya saja pendana invidiu premium berhak memilih mitra yang ingin mereka danai terlebih dahulu, mulai dari jenis usahanya, wilayah UMKM nya. Jadi tidak tergantung pada ketersediaan mitra di marketplace aplikasi Amartha pada hari itu. "Amartha senantiasa membuka peluang kolaborasi dengan banyak pihak sebagai salah satu strategi perusahaan dalam mengakselerasi pertumbuhan UMKM di Indonesia. Baik dengan pendana institusi, maupun pendana individu, terlebih dengan adanya fitur
crowdfunding yang baru saja resmi diluncurkan," tambah Andi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari