KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia butuh dana besar untuk melakukan transisi energi. Sejumlah negara menjanjikan memfasilitasi pendanaan transisi energi untuk Indonesia. Namun, sejumlah pengamat melihat, pencairan dana tersebut bisa kurang lancar karena ada sejumlah hambatan. Salah satunya kepentingan masing-masing pemberi dana dan belum kuatnya regulasi energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, sejumlah pendanaan dari luar negeri seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Mekanisme Transisi Energi atau Energy Transition Mechanism (ETM) hanyalah sebagian kecil dari kebutuhan pendanaan transisi energi di Indonesia.
“Ini ibaratnya adalah katalisator atau pemicu dari masuknya skema pendanaan yang lebih besar. JETP kan cuma berkomitmen US$ 20 miliar padahal kebutuhan pendanaan transisi energi Indonesia bisa mencapai US$ 500 miliar,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (22/9).
Baca Juga: Waspada Jebakan Utang, Bambang Brodjonegoro Beri Masukan untuk Pelaksanaan JETP Adapun proyek yang membutuhkan pendanaan besar ialah pemensiunan dini PLTU, pembangunan transmisi, dan pembangkit energi terbarukan. Bhima menyebut ada sejumlah persoalan yang dapat menjadi hambatan cairnya pendanaan dari JETP. Pertama, belum adanya payung hukum JETP setara Undang-Undang. Idealnya UU Energi Terbarukan disahkan sebagai payung hukum pendanaan JETP. Di Afrika Selatan ada UU-nya dan koordinasi langsung di bawah Presiden. Kemudian, wacana memasukkan pembiayaan PLTU batubara kawasan industri di dalam revisi Taksonomi Hijau juga berisiko menghambat pendanaan JETP. “Negara IPG memiliki agenda atau kepentingan transisi yang berbeda-beda, misalnya Amerika Serikat dengan pengembangan reaktor nuklir, kemudian ada Jepang dengan gas, CCUS, hidrogen. Perbedaan kepentingan terkait dengan minat investasi dan ekspor teknologi masing-masing negara maju,” terangnya. Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna mengatakan, tidak mudah mencari titik temu antara permintaan dari sisi Indonesia dan dari pihak pemberi pendanaan. Menurutnya, gesekan kepentingan tidak bisa terhindarkan karena masing-masing pihak memiliki kepentingan berbeda. “Pendanaan ini secara jumlah tidak besar, namun penting untuk menggulirkan rencana transisi energi Indonesia,” jelasnya. Menurut Putra, Indonesia juga tidak akan bisa bergantung pada pendana luar saja, namun harus mampu mendorong dirinya sendiri, baik menggunakan dana dari sumber daya alam (SDA) yang ada maupun sumber lainnya. Meski demikian, Putra menyatakan, PT PLN tetap akan membutuhkan pendanaan, sehingga bila ada tawaran pendanaan yang lebih kompetitif patut dipertimbangkan. “Semua usaha positif perlu diapresiasi, dan PLN beserta pemerintah tentunya perlu selektif dan transparan dalam penggunaan dana tersebut,” tandasnya. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan, pada dasarnya, mekanisme pembiayaan dari luar negeri dibuat sesuai dengan tujuannya. Misalnya saja Energy Transition Mechanism (ETM) adalah pendanaan yang spesifik membantu Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara melakukan pensiun dini PLTU. Konsep awal sudah disiapkan sehingga yang dicoba dikembangkan dalam ETM ialah model transaksinya. Di ETM, lanjut Fabby, sumber dana yang tersedia US$ 4 miliar yang baru ada US$ 500 juta dari CIF. “Dana US$ 500 juta itu yang akan digunakan untuk pensiun dini PLTU,” jelasnya. Sementara, pada skema JETP merupakan pendanaan untuk mempercepat transisi energi. Uang dari JETP akan keluar sesuai dengan proyek-proyek yang sudah berada dalam daftar CIPP. Sejauh ini, beberapa sektor yang akan didanai JETP ialah pemensiunan dini PLTU, transmisi, dan manufaktur teknologi EBT. Sedangkan, pendanaan melalui program MENTARI senilai Rp 21 miliar merupakan hibah yang akan meningkatkan kelayakan finansial dari suatu proyek EBT. Pendanaan ini juga membuka kesempatan untuk PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) membiayai proyek dengan meningkatkan the debt service coverage ratio (DSCR). SMI akan memberikan pinjaman, memantau perkembangan proyek, dan bekerja sama dengan MENTARI dan PT Brantas Energi untuk memastikan aspek keberlanjutan di seluruh tahap perencanaan, pengadaan, dan konstruksi hingga pelaksanaan. Pendanaan berupa hibah, kata Fabby, utamanya untuk technical assistant (TA) yang sifatnya mendukung studi teknis, pengembangan proyek, dan menghilangkan hambatan untuk investasi. Biasanya proyek yang didanai masih berupa pilot project atau uji coba. “Pada program pendanaan untuk TA biasanya hibah, sedangkan JETP sebagian besar pinjaman dan hibahnya kecil sekali. Sedangkan ETM mengkombinasikan hibah dan pinjaman karena nanti pembiayaan akan dibayar oleh si pemilik PLTU yang mengambil alih pembangkit yang akan dipensiunkan dini,” ujar Fabby. Meski berbeda-beda, Fabby menyatakan, skema pendanaan ini tidak harus dibanding-bandingkan mana yang paling kompetitif karena memiliki fungsi yang berbeda. Untuk mendorong transisi energi, Indonesia membutuhkan banyak sumber pendanaan dan pembiayaan spesifik yang dapat menjawab kebutuhan yang ada. Misalnya untuk proyek energi baru terbarukan, melihat kondisi hari ini di mana sistem kelistrikan belum siap dan harga listrik diregulasi, maka Indonesia sangat membutuhkan low cost concessional finance dengan pembiayaan yang bunganya rendah dan tenor agak panjang.
Selain itu, Indonesia juga membutuhkan pembiayaan yang terkait mitigasi risiko di mana pendanaan dalam bentuk hibah juga dibutuhkan. “Jadi hibah ini untuk mempersiapkan proyek yang ada dalam pipeline ready to be finance,” terangnya. Jadi pendanaan luar negeri yang sudah ditawarkan saat ini akan saling melengkapi proyek transisi energi di Indonesia.
Baca Juga: Pemerintah Minta Dana JETP Juga Digunakan untuk Jaringan Listrik Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat